Ah sial….
Ternyata. Dia tak membalas. Ataukah aku yang terlalu buru-buru pake kata vulgar?
Tapi…. meski demikian tentu saja aku tak akan menarik mundur langkahku. Sudah sejauh ini, masa iya kudu mundur, bro. hahay! Aku pun mengirim pesan kembali. “Eh iya. Maaf sebelumnya kak, kalo saya lancang….. Saya boleh nanya sesuatu kak?”
“Boleh. Mau nanya apa, Ar?” Ahhh…. lega. Akhirnya dia membalas. Berarti fix, pesanku yang sebelumnya tak mendapat balasan karena akhwat kakak iparku ini sedang bingung mau jawab apa, atau malah dia sengaja gak bales biar suami adiknya ini gak terobos terus?
“Kalau misalnya pertanyaan saya bikin Nira marah atau sensi, gimana?”
“Ya gak akan Nira jawab, Ar. Boleh kan?” di akhiri dengan emoticon senyum. Oke sekali lagi fix. Inilah jawaban atas pertanyaanku tadi, mengapa pesan sebelumnya tak ia balas.
Ah, entah mengapa aku makin geregetan kepada akhwat kakak iparku ini. Aku gemas menatap layar ponselku. Tanduk tak kasat mata di atas kepala mulai meruncing, di sertai senyum seringai iblis pada wajah ini, menambah manisnya khayalanku hingga kemudian ponselku bergetar dan mengembalikan aku ke dalam kenyataan. Sebuah pesan dari Nira.
“Emangnya mau nanya apa, Ar?” jiah, rupanya dia menunggu toh.
“Maaf ya kak. Sekali lagi maaf…”
“Iya Ar. Jangan kebanyakan minta maaf nya deh. Kamu ini”
“Hehehe lah kalo gak minta maaf, bisa-bisa saya malah sengaja khilaf lagi deh kayak malam itu. Hayo….”
“Dasar. Kamu ini bisa aja bercandanya.” Pengen rasanya aku membalas dengan kata, aku sedang tidak bercanda Nira. Tapi, hal itu urung ku lakukan.
“Jadi sekali lagi jangan tersinggung ya kak. Mau dijawab silahkan, gak mau di jawab juga silahkan…”
“Iya. Kok malah bikin penasaran ya?”
“Hmm,”
“Pake acara berfikir segala” balas Nira. Sepertinya ia mulai terpancing. Mulai di kuasai rasa ketidaksabaran.
“Kenapa malam itu, pas di kamar. Kamu malah tidak teriak, kamu malah membiarkan saya sampai sejauh itu menyentuhmu, Nir… maaf sekali lagi jika saya lancang, saya hanya ingin tahu saja. Tak ada maksud apa-apa”
Agak lama setelah ku kirim pesanku yang sebelumnya, belum juga ada jawaban. Aku tidak tahu apa yang sedang melanda perasaannya.
“Maaf kak jika pertanyaan saya telah membuat kakak marah.”
Deleted message. Yap! Aku lantas menghapus pesanku sebelumnya itu. “Kenapa malam itu, pas di kamar. Kamu malah tidak teriak, kamu malah membiarkan saya sampai sejauh itu menyentuhmu, Nir… maaf sekali lagi jika saya lancang, saya hanya ingin tahu saja. Tak ada maksud apa-apa” Ya. Pesan yang itu. Namun, tentu setelah ku pastikan tanda centang dua itu telah berwarna biru. Alias, Nira telah membacanya.
Sekali lagi. Ini sengaja bro. Hanya sebagai pancingan semata.
Tidak ada jawaban. Ku tunggu dan ku tatap layar ponselku, tetap saja hitam tanpa ada pemberitahuan. Sepertinya aku harus memasrahkan diri pada kemarahan kakak iparku di seberang sana.
Tiba-tiba aku merasa menyesal telah mengirim pertanyaan yang siapapun sepakat bahwa pertanyaan seperti ini amat sangat sensitif.
Hhhhh….. ku hela nafas panjang lalu ku letakkan ponselku di meja dan mencoba memejamkan mata.
Ah…. rupanya badanku sangat pegal setelah seharian ini menyetir di tengah kemacetan pula. Ingin dipijatpun rasanya tidak mungkin. Aku terlalu kasihan bila harus membangunkan istriku yang sudah terlelap dalam tidurnya.
Drrrttt….. Drrttt….
Aku langsung terbangun begitu mendengar suara getaran ponselku.
Nira. Hmmm semoga dia tidak marah. Entah mengapa dadaku berdegup sedikit kencang. Semoga saja aku tidak terbawa perasaan.
“Maaf, ya Ar. Pasti kamu nunggu jawabannya kan? Seperti yang tadi aku bilang ke kamu, aku tidak bakal menjawab kalo memang pertanyaan kamu agak gimana.”
“Ahh iya kak. Gak apa-apa.”
Fyyuuuhhhhhh….. legaaa….. rupanya tidak terjadi apa-apa.
“Itu artinya pertanyaan saya bikin kakak marah atau naik tensi”
“Gak kok. Sumpah!” balasnya.
Aku tersenyum dalam temeramnya ruangan tamu di rumahku ini. Tentu senyum yang menyerupai iblis jahannam bertanduk dua di atas kepala. Hoho!
“Kamu pasti ngirain aku gak bales karena marah ya? Maaf ya Ar. Aku gak jawab, karena pertanyaan kamu sangat sensitif”
“Iya kak. Gak apa-apa”
“Btw, berarti pertanyaannya saya ubah. Kenapa kakak belum bobo?”
“Hmm, lagi gak bisa tidur Ar” balas Nira.
“Padahal semua orang yang ikut keliling buat beli ole-ole, malah pada molor. Pada capek pula. Tapi kak Nira malah masih terjaga. Hehehe”
“Kan bukan hanya aku aja, kamu juga masih terjaga, kok”
“Kalo saya gak bisa tidur, jujur…. bukan karena tidak ngantuk kak. Sejak tadi nguap-nguap melulu. Tapi pas mulai rebahan di samping Azita. Yaelah malah sulit banget terpejam gara-gara………” sekali lagi, aku menggantung kalimatku buat memancingnya.
“Jangan bilang gara-gara kamu mengingat kejadian itu?” Yes! Dia bukan lagi terpancing, melainkan dia yang langsung menebak kemana arah ucapanku yang menggantung tadi.
“Bohong jika saya jawab tidak, kak. Jadi jawabannya, betul.”
“Ih kamu ini”
“Seriusan kak. Gak tahu kenapa, aku malah memikirkan kak Nira melulu. Dosa sih, saya juga paham itu. Tapi… saya hanya manusia biasa, kak” aku mulai nekad. “Dan saya berharap, hanya saya saja yang seperti ini. Jangan kak Nira. Gak baik. Cukup saya saja yang sulit melupakan kejadian dan sentuhan di kamar kala itu, dan juga kejadian waktu saya tidak sengaja melihat kak Nira ‘Self Service’ dengan memakai foto saya di ponsel kakak”
Skak Mat!
Suasana kembali mencekam sodara-sodara. Cukup lama kembali ku nanti pesan balasan darinya. Intinya, tak di balas pun tak mengapa. Karena aku sudah mengatakan apa yang memang seharusnya ku katakan padanya. Ini yang ku bilang tadi, senjata pemungkasku buat berbicara terus terang padanya. Biar semua jelas. Biar ia tahu, kalo aku juga melihat apa yang sedang ia lakukan dengan foto penisku di ruang tamu rumahnya di malam sebelum kejadian aku menggerepenya.
Karena cukup lama tak ada jawaban, aku kembali memiliki ide baru.
Hmm, saatnya memancing di air keruh. Hoho!
Intinya, butuh trik dan skill yang tangguh, serta perasaan yang kuat, karena ikan tidak akan terlihat di air keruh, tetapi bukan hal yang tidak mungkin kalau di dalam sana ada peluang, bukan?
“Kenapa gak make foto Bang Anton aja kak?”
“Ar….” Ah dia membalas. Tapi hanya penyebutan nama awalku doang. Tapi imagi dalam kepala sudah membentuk, menggambarkan bagaimana kondisi si akhwat yang menemaniku berchatting mesum di malam ini. Tentu sekarang ia sedang di landa kegelisahan.
“Ya kak. Maaf saya kelepasan.”
“Gak apa-apa. Aku akhirnya sadar, jika kamu sempat melihat apa yang sebenarnya terjadi di dua malam yang lalu”
“Ya Kak itu juga salah satu yang menjadi penyebab saya sulit memejamkan mata. Sumpah, kepikiran melulu.”
“Aku minta maaf ya Ar. Tidak meminta ijin padamu untuk mengambil secara diam-diam fotomu” bahasanya masih sopan. Masih menggunakan kata ‘Fotomu’.
Baiklah. Aku akan ke step yang lebih tinggi lagi.
“Saya yang minta maaf kak. Karena ceroboh mengirim foto kelamin saya yang lagi berdiri tegang-tegangnya ke istri. Tanpa mengetahui kalo HPnya di pegang kakak”
“Ar…. ih, kok malah langsung terus terang gitu” Kepancing lagi. Hahahaha!
“Oh iya maaf kak”
“Kamu ini. Gak bisa apa di samarkan katanya”
“Maaf kak. Maaf gak sengaja”
“Iya Ar. Gak usah merasa bersalah gitu ih. Seharusnya aku yang merasa bersalah ama kamu karena diam-diam malah mencurinya”
Hmm. Pantaskah ku balas sekarang, dengan kalimat yang mana saat ini sedang bermain-main di pikiranku?
Baiklah. Sekali maju, pantang bagiku untuk mundur. Maka aku pun mengirimkannya pesan kalimat yang sudah ku rencanakan barusan dalam otak. “Padahal kalo minta baik-baik aslinya, saya bakal kasih kok.”
“Ar please. Jangan di teruskan. Nanti…”
“Nanti apa kak?” aku mengejar.
“Gak apa-apa”
“Kalo memang nanti kakak gak tahan, kan tinggal bangunin bang Anton buat menggarap sawah kakak. Ups!”
“Sulit Ar. Ahhhh sudahlah. Nanti rahasia ranjang rumah tangga kami bakal kamu ketahui.”
“Gak apa-apa, jika memang kakak ingin berbagi cerita. Saya akan siap menemani kakak sampai pagi biar pikiran bisa plong”
“Kamu jahat ihhh Ar. Sukanya mancing-mancing.” Hmmm….. dia sudah mulai berbicara terbuka nih. Sepertinya telah ada titik poin yang akan aku tembak.
“Kalo mau jujur, saya sama sekali gak pintar buat memancing loh kak. Saya mah sukanya langsung jujur saja, seperti kejujuranku malam ini yang sulit melupakanmu, kakak iparku yang cantik dan menawan.”
“Ahhh Ar. Kamu ini gombal banget”
“Saya juga tidak tahu cara menggombal kak. Saya cuma tahu berbicara jujur.”
“Bohong. Kamu belum jujur kok”
“Apalagi yang harus saya jujurkan ke kakak?”
“Gak deh. Bercanda” balasnya lagi. Semakin kesini, semakin lugas komunikasiku dengannya. Seperti tak ada lagi benteng halangan di antara kami berdua. Sudah sedikit demi sedikit terbuka.
“Semua sudah saya cerita secara jujur ke kakak. Bahkan saya juga mau jujur, kalo saya sangat menikmati sekali menyentuh tubuh kakak, menyentuh payudara kakak. Sumpah. Bentuknya menggairahkan dan nyaris sempurna. Bohong jika saya tidak mengaguminya meski saya belum melihat aslinya bagaimana, tapi saya sangat yakin, bentuknya, kesempurnaannya jauh melebihi yang di miliki istri saya, kak. Ups. Maaf kalo saya malah terlalu jujur jadinya”
“Arr ihhh. Jangan terlalu terbuka. Kan aku jadi malu tau”
“Ngapain malu kak. Kan kakak memiliki bentuh tubuh yang sempurna. Jadi, bersyukurlah buat bang Anton. Karena beruntung telah mendapatkan tubuh yang sempurna dari istrinya ini”
“Andai saja memang betul terjadi Ar”
Wait.
Apa maksud kalimat tersebut?
Aku menela’ah sejenak, mencoba mencari tahu maknanya.
Atau jangan-jangan?
Daripada penasaran, aku kembali menguliknya. “Lah emang betul kok. Saya kan udah bilang kak, saya selalu berbicara jujur. Kakak itu adalah wanita yang nyaris sempurna. Saya berani di sumpah pake cara apapun.”
“Bukan itu Ar.”
“Trus yang mana dong, kak?”
“Sudahlah Ar, lupakan saja. Aku takut malah kepablasan ngobrolnya”
“Ini kita berdua malah sudah kepablasan loh, kak.”
“Iya sih”
“Saya gak tahu deh apa yang bakal saya lakukan kalo kakak adalah istri saya. Coba saja tanyakan ke Azita, apa yang selama ini saya perbuat padanya. Dia aja yang memiliki tubuh seperti itu, tak pernah bosan-bosannya saya entotin siang dan malam, tanpa lelah, tanpa bosan. Sungguh, saya tidak berbohong. Tuh orangnya masih hidup, kakak bisa deh sesekali bertanya padanya, bagaimana gairah kami berdua selama dari awal menikah sampai sekarang, adakah kadar gairahnya berkurang atau malah nambah”
“Ar bahasamu vulgar banget”
“Maaf kak, udah di bilang saya itu orangnya suka ceplas ceplos. Lagian gak ada kata yang pantas buat saya untuk menjelaskan ke kakak apa yang terjadi dalam urusan ranjang kami.”
“Iya sih Ar… tapi, jangan diceritain ke aku, ya? Ntar kalau aku malah jadi panas dingin, kan malah tambah runyam jadinya”
“Iya kak. Maaf. Tapi begitulah kondisi saya. Untunglah Azita mengerti dan mampu mengimbangi hasrat saya selama ini yang selalu meletup-letup.”
“Ah Ar mah, dibilangin jangan diceritain. Kalo begini kan jadinya repot Ar…”
“Memangnya kenapa, kak?”
“Gak pa-pa kok”
“Trus repot apanya? Maaf kalo ngerepotin”
“Ih. kamu mah keseringan minta maaf.”
“Lha habisnya kakak, katanya jadi repot gara-gara saya”
Entah mengapa edisi chatingan ini membuat insting seksual hewaniku terbangun. Tentu saja, si kodir biang brekele di bawah sana semakin terusik dan sepertinya filingku mengatakan bahwa Nira di seberang sana entah bagaimana caranya pasti sedang gelisah panas dingin.
“Iya maksud aku jangan lagi cerita masalah ini. Bisa bahas lain aja deh”
“Maaf ya kak…. tujuan saya hanya ingin menjelaskan pada kakak, jika kakak itu masih memiliki semua yang di idam-idamkan oleh semua kaum wanita. Tanpa terkecuali, istri saya saja selalu bercerita dia pengen memiliki payudara yang bagus dan bulat sempurna. Tapi, meski begitu saya selalu bersyukur memilikinya, tidak pernah sama sekali melirik ke wanita lain. Serta bagaimana Azita yang selalu mengerti tentang kebiasaan saya yang hampir tiap hari ngentotin dia dengan berbagai gaya, kadang dimana saya harus berjuang di atas tubuhnya. Atau di samping. Atau sesekali di bawah. Tergantung kondisi dan keinginan. Untung saja saya memiliki ukuran kemaluan yang mumpuni, jadi cocok dengan segala gaya yang kami inginkan…. Ini aja kok. Gak ada maksud bercerita yang lain.”
“Serta bagaimana cara dia untuk membiasakan liang vaginanya agar selalu dan selalu menyesuikan bentuk besar dan panjangnya kemaluan suaminya ini yang nyaris tiap hari menghujam kedalamannya sampai mentok ke dinding rahimnya yang paling terdalam.”
Beres…
Hohohoho….
Bagaimana reaksi Nira?
Wait and see……
…
…
…
Eh…. ternyata tak sampai semenit, pesan balasan darinya datang.
“Ardaaaannnnnnnn…… udah… atuh…. kamu rese ihhhhh”
“Hehehe… maaf kak. Saya lancang!”
“Gak apa-apa.”
“Kakak gak mungkin terangsang kan hanya karena ngobrol dari chat kayak gini?”
“Gak kok. Aku gak terangsang”
“Oh… Syukurlah. Kirain terangsang. Kalau saya mah ini udah terangsang banget kak. Andai kakak ada di samping saya saat ini, detik ini juga, saya pastikan, kejadian di kamar saya semalam itu, bakal terulang, dan mungkin saja akan jauh lebih parah dari sebelumnya….. Jadi maaf, karena ‘kontol’ saya sudah tegang maksimal, sepertinya saya harus ke kamar dulu sekarang kak, buat membangunkan Azita.”
“Dan gak mungkin saya foto ulang kemaluan saya yang lagi berdiri maksimal ini, lalu mengirimkan ke kakak buat pembuktian, bukan? Kalo saya bener-bener lagi terangsang berat.”
“Kamu jahat Ar. Aku marah sama kamu.”
“Kok bisa?”
“……….. Aku… kamu jahat Ar. Sangat jahat”
“Kok bisa? Kan saya gak ngapa-ngapain kakak… Bahkan saya juga tidak sedang menikmati sepasang payudara kakak yang begitu sempurna, gak lagi menghisap putingnya bergantian, memberikan jilatan yang selalu sukses membuat Azita orgasme cepat… seperti di kejadian pas di kamar kemarenan kan? Apalagi sampai saya lancang menghujamkan kemaluan saya ke liang kemaluan kakak…. yang juga selalu sukses membuat Azita terkencing-kencing, enggak kan? Saya lagi gak ngelakuin itu ke kak Nira, bukan?”
“Ar….. udahhhhhh ihhhhhh”
“Kenapa kak?”
“Kamu jahat karena sudah buat aku………………………………”
“Buat apa kak?”
“Aku………………………
Terangsang banget Ar…….
Sumpah matiii….
Aku jadi pengeeeennn.”
DEGH!!!
Pasti kalian bertanya-tanya apa yang terjadi selanjutnya – semalam, bukan?
Kejadian setelah balasan singkat dari kakak iparku dengan kalimat yang membuatku spontan terdiam, kaku seakan tubuhku baru saja di bekukan, kalimat yang menyatakan dirinya lagi terangsang?
Maka kan ku jawab. Sudahlah, aku tak tahu lagi harus menjelaskan dengan kalimat yang cukup pas pada kalian, karena sejujurnya, aku tak dapat lagi merangkaikan dengan sebuah narasi buat ku jelaskan pada kalian. Intinya, setelah itu, aku tak lagi membalasnya, karena aku sudah amat di kuasai oleh syahwat kembali. Alhasil, aku pun langsung ngacir ke kamar, buat membangunkan istri untuk sesegera mungkin ku setubuhi.
Selama ku setubuhi Azita, aku tak memikirkannya melainkan dalam pikiranku itu, sedang menyetubuhi kakaknya, si Nira. Makanya spermaku sangat dahsyat menyemprot ke rahim istri, bahkan istri juga bertanya padaku mengapa aku malam kemarin sangat semangat sekali untuk bersetubuh dengannya. Aku hanya jawab, nyengir aja. Toh! Bukan sekali dua kali juga ia mendapatkan suaminya lagi sange berat. Karena memang suaminya ini adalah type pria yang sangean. Haha!
Tapi….
Satu yang pasti yang kini ku catat dalam benakku. Membuat Nira berbicara balk-blakan adalah sebuah kemenangan besar dalam proses pendekatan – baca : merencanakan untuk menaklukkan. Pernyataanku ini tidaklah berlebihan, mengingat aktifitas keseharian Nira yang serba tertutup karena menjaga iffah mereka dari fitnah dengan menerapkan aturan niqab. Jika kalian mengira bahwa niqab itu adalah kain yang menutup aurat mereka, maka kalian salah besar. Niqab adalah prinsip pembatasan hubungan dengan lawan jenis dalam bentuk apapun untuk menghindari fitnah.
Baik itu dalam urusan fisik, seperti mengumbar aurat, maupun dalam hal psikis seperti berbicara yang tidak penting. Untuk itulah mereka mengenakan niqab buat menutup wajahnya, sebagai pendukung untuk gerakan aliansi para wanita yang kerap mendapatkan pelecehan baik itu secara sepintas dengan sebuah tatapan, atau lebih parahnya dengan sebuah tindakan.
Memang benar anggapan bahwa tidak semua perempuan yang bercadar itu menganut faham konservatif. Buktinya banyak sekali akhwat yang memakai cadar dengan segala kepentingannya.
Ada yang melakukannya karena keyakinan. Aku bisa dengan sangat mudah mengenali mereka yang berada pada tipe ini, berhubung istriku juga cukup aktif dengan salah satu organisasi yang sama seperti yang di ikuti kakakknya itu – secara memang mereka bertiga hidup di kalangan orang-orang yang haus akan agama, meskipun istriku dan beberapa ummahat yang lain memilih untuk tidak memakainya.
Biasanya mereka terlihat dari pakaiannya yang serba gelap, tanpa motif dan corak. Hanya pakaian jubbah dan jilbab yang polos, dan Nira adalah akhwat yang berada pada tipe ini. Tipe kedua adalah mereka yang mengedakan cadar karena doktrin ataupun ikut-ikutan. Mereka hanya bermodalkan semangat namun tidak mengimbanginya dengan usaha yang pantas, sehingga akhwat jenis ini terlihat sangat mudah dikenali. Mereka berjilbab lebar dan bercadar, tetapi kain corak pakaiannya sangat modis, menggunakan kain yang warnanya cerah, kadang memakai motif-motif. Meskipun mereka bercadar, tetapi mereka tetap menarik perhatian.
Ah, sepertinya, terlalu banyak pendahuluannya buat membuka cerita pada chapter kali ini. Oke kita skip saja. Hahahaha!
…
…
…
Pagi ini aku terjaga dari tidurkku yang benar-benar efektif banget. Secara beberapa hari ini, aku tidurnya kurang efektif, mengingat kejadian demi kejadian dari aku berangkat ke sini, selalu menyiksa pikiranku sebelum aku memejamkan mata. Bahkan tak jarang, salah satu di antara kedua saudari istriku kerap hadir dalam mimpi. Tentu saja, hadirnya bukan dengan yang positif, melainkan negatif. Ahhh! Aku yakin kalian paham apa yang ku maksudkan ini.
Hari ini seolah aku mendapatkan semangat yang baru, setelah semalaman berhasil memasuki babakan baru dalam proses komunikasiku dengan Nira.
Di samping itu aku juga telah mendapatkan ‘makan malam’ yang super dahsyat dari istriku semalam. Skor 4-1 sudah cukup memuaskanku. Dia adalah istri yang sangat hebat. Mengapa? Karena dia adalah wujud keadilan Tuhan atas diriku.
Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, dalam hal apapun dan Azita selalu mampu melengkapi kekurangan ataupun kebutuhanku, termasuk dalam hal syahwat.
Seperti yang selalu ku jelaskan juga, jika aku selalu memiliki nafsu yang menggebu untuk melepaskan birahiku. Baca – cowok sange’an. Sedangkan Azita selalu memiliki semangat yang tinggi untuk melayani syahwat hewaniku.
Oh, istriku. Engkau sebenarnya sudah lebih dari cukup untukku, hanya aku saja yang seperti kurang bersyukur.
Rupanya istriku, putriku dan Azizah adiknya serta mama mertua sedang ke rumah keluarga yang berada di Buah Batu. Informasi ini ku dapatkan dari……………..
Nira?
What the.
Yap, kalian tak salah baca kawan. Pagi ini, saat aku lagi keluar dari rumah, aku berpapasan dengan Nira yang juga baru saja keluar dari pintu rumah utama dengan penampilan – hmm, yah seperti biasa, berhijab lebar dengan cadar penutup wajahnya.
Ah… perasaan ini.
Terlalu murahkah perasaanku ini pada kakak iparku? Mengapa bukan hanya dengan Azita saja aku merasa perasaan seperti ini, yang dapat ku pastikan jika perasaan ini bisa kalian sebut sebagai perasaan ‘kasmaran’. Yang anehnya, perasaan ini muncul bukan untuk Azita saja.
Pfhhhh!
Mengapa dengan Azizah juga? Dan kini dengan Nira? Ah, Nira. Perempuan anggun yang penuh misteri, setidaknya dari wajah yang dia tutupi. Dari mata dan sedikit alisnya yang nampak, aku tidak bisa mengira ekspresi seperti apa apa yang tersaji di baliknya saat ini, ketika sepagi ini ia malah bertemu denganku yang semalam – dengan sadar ia baru saja membuka tabir sedikit saja kehidupan berumah tangganya pada sesosok lelaki lain, meski aku masih menjadi bagian dari keluarganya.
Apakah dari semua petunjuk yang ada, Nira juga menyimpan segudang keinginan untuk bisa saling ‘bercicipan’?
Tapi jika sebaliknya, sanggupkah aku melanjutkan rencana ini? Bagaimana jika pas aku sudah di hadapkan pada sebuah kesempatan, tiba-tiba aku malah mendapatkan bencana seperti di gampar atau di caci maki, atau lebih para si akhwat ini malah teriak meminta pertolongan – yang pada akhirnya, bukan hanya pihak keluarga yang datang membantu, mungkin saja para warga lain yang mendengar bakal datang berbondong-bondong buat menghakimiku? Ahhh! Aku bahkan takut buat membayangkan kejadian tersebut. Bagaimana rumah tanggaku nanti? Bagaimana perasaan Azita istriku, serta bagaimana masa depan putriku Intan? Serta calon dua debay yang berada di dua rahim yang berbeda – rahim istri dan rahim adiknya, Azizah. Ahhh entahlah, aku tak mau lagi berfikir terlalu jauh.
Ku akui, memang untuk menaklukkan seorang akhwat yang memakai cadar adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar. Bagaimana tidak, engkau memperjuangkan apa yang belum engkau ketahui tentang perasaannya. Hm, begitulah kira-kira kondisiku saat ini.
Baiklah….
Kembali pada kejadian aku yang berpapasan dengan Nira sepagi ini.
“Eh Nira…. pagi, kak”
“Pa… pagi Ar.” begitu jawabnya. Dari nada suaranya sih, dapat kupastikan jika empunya lagi di landa kegugupan.
“Baru bangun?” tanyaku.
Dia malah menggeleng, “Udah dari subuh kali, Ar.”
“Wah aku malah baru bangun, baru juga selesai mandi”
“Iya…. gak apa-apa” balasnya lagi.
“Eh iya, Azita dan yang lain pada kemana? Kok sepi amat ya?” tanyaku saat kepalaku teralihkan, dan sekedar untuk celingak celinguk mencari dimana istriku berada.
Dan dari sinilah aku mendapatkan informasi seperti yang ku jelaskan di awal, jika istri beserta yang lainnya lagi pergi ke rumah keluarga yang terletak di buah batu. Mereka menggunakan jasa taksi online karena istriku tak ingin membangunkanku tadi. Ia menyadari jika suaminya lelah banget setelah menungganginya semalam.
“Ohhh gitu. Ya udah eh, itu artinya saya bebas hari ini. Pengen lanjut molor lagi kalo gitu. Hahaha” kelakarku mencoba untuk bercanda padanya.
“Dasar.”
“Eh iya, rapi gini mau kemana?” tanyaku tiba-tiba, setelah menyadari penampilan Nira pagi ini cukup rapi.
“Oh ini…. hmm mau ke Cimahi. Kebetulan lagi ada undangan makan siang di rumah temen satu pesantren dulunya” begitu balasnya.
“Ohhh gitu”
Nira mengangguk.
“Ya udah kalo gitu Ar, aku mau lanjut….”
“Perginya bareng bang Anton?” sebelum ia meninggalkanku, aku segera bertanya lagi. Rasa-rasanya, aku belum rela jika aku berpisah lagi dengannya. Padahal kami masih berdekatan dalam radius yang tidak lebih dari 20 meteran.
“Yah suami sudah di jemput pagi-pagi ama bekas komandannya dulu, mereka juga lagi pada mau keliling bertamu di rumah kawan-kawan seangkatannya dulu di Akabri”
Hmm, sepertinya aku punya ide.
“Mau saya anter?”
Nira langsung menatapku. Urung ia melangkahkan kakinya buat meninggalkanku.
“Hmm….” dia berfikir.
“Pasti takut ya, karena kejadian kemarin?” aku menembaknya, tapi suaraku agak sedikit ku kecilkan.
“Ih apaan sih… lagian kan, kejadiannya gak di sengaja juga”
“Nah. Berarti gak apa-apa dong kalo saya anter, kebetulan juga saya mau mampir di rumah temen di Cimahi mantan atasan saya dulunya di sini, Nir” alasanku. Padahal sejujurnya aku berbohong. Karena sejujurnya juga, aku masih ingin mengobrol dengannya, tak lebih. Karena memang aku tak meniatkan adanya kejadian yang aneh-aneh bersamanya nanti.
“Hmmm gimana ya?”
“Ayolah. Hmmm masih pengen ngobrol ama kamu juga sih”
Nira kembali menatapku dari sepasang matanya itu yang terlihat, menatapku seakan sedang menyelidiki maksudku menawarkan untuk mengantarnya.
Tapi, sebelum dia berucap buat membalas tawaranku, aku telah meraih ponselku dan menghubungi istriku. Begitu Nira ingin berucap, bersamaan pula telfonku di jawab Azita di seberang.
“Wait Nir” gumamku. “Assalamualaikum, bun”
“Wa’alaikumsalam, ya ayah…. maaf yah, bunda ma yang lain kebetulan di rumah bibi Jum. Tadi gak sempet bangunin ayah, karena ayah tidurnya nyenyak banget. Heheheh, tapi paling pulangnya gak sampe sore sih”
“Iya ayah juga udah tahu, nih kak Nira yang ngasih tau” sembari berucap, sembari ku lirik sepasang mata kakak iparku ini yang masih menatapku.
“Ohh syukurlah. Hehehe”
“Ini, kak Nira kebetulan mau ke Cimahi, pas ayah juga mau ke cimahi rumah Pak Rusli. Biar sekalian aja kan barengan”
“Oh iya bareng aja…. daripada kak Nira sendirian ke sananya, kan bang Anton juga lagi keluar tadi”
“Iya makanya.”
“Ya udah gak apa-apa…. jagain kak Nira loh yah” bukan hanya jagain saja yang ayah bisa lakukan sayang, kalo Nira juga meminta lebih, akan ayah ladenin kok. Untuk saja lanjutan kalimat tersebut hanya terucap dalam hati. Hahaha!
Dan setelah berbasa-basi beberapa detik bersama istri, akhirnya ku pungkasi obrolan kami via phone.
“Beres” ku sakukan kembali ponselku.
“Ihh kamu ini Ar, malah jual namaku. Padahal mah, kamu yang nawarin”
“Hehe gak apa-apa kali. Jadi gimana, mau bareng berangkatnya?” tanyaku.
“Hmm…”
“Ya elah kebanyakan mikir. Dah ah, saya ganti pake celana panjang dulu di dalem. Tunggu di sini aja, gak sampe mamenit mah kalo saya ganti pakaian”
“Hmm ya …. ya udah deh” begitu jawabnya. Agak terbata-bata juga.
Tapi setidaknya, dari sini aku sudah mendapatkan lampu hijau darinya, untuk bisa bersamanya lebih lama lagi. Bahkan aku berharap, ia batal ke rumah temannya dan ikut bersamaku menghabiskan waktu seharian ini di suatu tempat. Jangan terlalu jauh dulu mikirnya, aku tak mau, endingnya aku yang malah terkena bencana karena kenekad-tanku yang tak berarah.
-BERSAMBUNG-