Salah Masuk Kamar Adik Iparku Yang Cantik – Part 5

Setibanya di hotel tempatku akan melaksanakan meeting, juga tempat yang akan kami inapin selama beberapa hari disini, rupanya beberapa ASM dari area berbeda sudah lebih dulu tiba dariku.

Maka aku segera mengurus proses administrasinya di bantu dengan Ibu Felicia dari Kantor pusat untuk mendata serta membantu penge-check-an list di resepsionis.

“Pak Ardan jagoannya suroboyo” Pak Ferdy ASM dari Makassar baru saja menyapa. Kami berdua saling berjabat tangan lalu di lanjutkan pada beberapa ASM lainnya yang tak perlu ku sebutkan nama-namanya.

“Sehat ya pak?”

“Sehat donk”

“Bagaimana nih area baru yang sekarang di handle?”

Dan terjadilah obrolan-obrolan singkat di antara kami, sembari menunggu proses ibu Felicia dan resepsionis pihak hotel untuk membantu kami semua untuk proses check in.

“Eh pak Ar sekamar sama Pak Yogi ya?” Ibu Felicia baru saja bertanya padaku.

“Iya bu Fel.” balasku, “Emangnya Pak Yoginya udah datang dari Medan ya?”

“Udah sih dari kemarin malahan, cuma kayaknya malam ini dia masih pengen nginap di rumahnya saja, biasalah. Bapak-bapak yang lagi pengen berkunjung ke keluarganya. Hehehe”

“Iya tuh Ar, apalagi si Yogi bujangan selama di Medan” celetuk salah satu ASM.

“Oh iyakah? Dia gak ngajak nyonyanya ke sana ya?” tanyaku.

“Iya haha”

“Berarti malam ini Pak Ardan bakal nginap sendiri nih?”

“Wah bisa ngajekin temen lain nih. Hahahaha” kelakar salah satu ASM yang lain. Dan yah! Terjadilah kembali obrolan-obrolan bapak-bapak yang pasti kalian paham apa yang kami obrolin selanjutnya. Tak perlu lah aku jelaskan detailnya.

Mereka, khususnya kami, karena aku juga ikut di dalamnya, tanpa merasa malu berbicara seperti itu padahal ada ibu Felicia di sini. Dasar!

SIngkat cerita, beres pengurusan administrasinya, kami pun telah mendapatkan kunci kamar masing-masing, maka kami pun telah bersiap-siap untuk naik ke kamar masing-masing. Namun sebelumnya ibu Felicia sempat menerangkan jika malam ini, atau hari ini, untuk makan buat kami semua bisa sendiri-sendiri, tinggal nota makan kami – bisa kami klaim sebagai biaya operasional seperti biasanya.

Ya sudahlah. Aku juga kebetulan belum lapar, paling bentar aja baru nyari makannya.

Setiba di kamar, aku rebahkan tubuhku sembari membuka ponselku untuk menelfon istri, sekedar untuk memberitahukan padanya jika aku telah tiba, sudah berada di hotel.

Di layar ponselku, kini tampak wajah istri dan putriku yang lagi menerima panggilan video call dariku.

“Assalamualaikum, hi bun. Hi sayangnya ayah”

“Wa’alaikumsalam, halo ayah…. ayah udah sampai ya?”

“Alhamdulillah udah sayang”

“Alhamdulillah, trus ayah sekamar ama siapa?” tanya istriku.

“Sama Pak Yogi, tapi orangnya belum tiba” aku sedikit menyesali mengapa aku malah berbohong pada istriku. Sebetulnya sih tujuannya biar gak bahas lanjutannya lagi, karena memang tak penting bahas orang lain saat ini.

“Ohhh. Jangan lupa makan, jangan kemalaman, dan bobonya cepetan biar besok bisa fresh saat meeting”

“Iya sayangku”

“Eh iya sampai lupa”

“Apa sayang?” tanyaku pada istriku kembali.

“Azizah di Semarang juga tuh dari kemarin, ada acara seminar gitu katanya”

Degh!

Jantungku langsung berdegub kencang saat mendengar informasi tersebut dari istriku. Sudah benar sesuai tebakan dan analisaku tadi saat masih berada di pesawat.

“Ohhh gitu”

“Iya, cuma kalo ayah mau ajakin ketemuan, pas ayah lagi santai aja” ujar istriku selanjutnya.

“Iya. Nanti di lihat aja, yang jelas tidak malam ini,” begitu balasku padanya.

“Iya, gak apa-apa”

“Paling nanti bunda infoin ke dia juga, lupa juga sih kemarin ngasih tau ke dia kalo ayah juga mau meeting di sana” ujar istriku kembali.

“Hehe ya terserah kamu” balasku.

Setelah beberapa lamanya aku dan istri saling melepas rindu, akhirnya ku akhiri panggilan video call bersama nya dengan mengucapkan salam padanya.

Sekarang, apa yang harus ku lakukan?

Istri juga tadi sempat mengatakan ia akan menginfokan ke adiknya jika aku juga berada di Semarang. Dan pasti, namanya wanita pasti langsung bergerak cepat, jadi saat ia memutuskan komunikasi denganku, aku yakin istriku langsung memberikan kabar pada adiknya itu.

Jadi, ada baiknya aku menunggu saja kabar dari wanita itu.

Baru saja ingin rebahan kembali, ponselku berdering.

Ahhh! Semoga bukan Azizah yang menelfon.

Benar saja, bukan dia melainkan Pak Ricky ASM jogja.

“Pak Ar, nyari makan yuk, tuh anak-anak ajakin makan bareng”

“Oh boleh deh, dari pada bengong di kamar sendirian, mending join aja” balasku kemudian.

Dan pada akhirnya kami pun berkumpul di bawah, ada 5 orang ASM yang akan makan malam bersama-sama. Kebetulan Pak Ricky pernah jadi ASM di sini, makanya ia sempat meminjam mobil salah satu SPV di sini untuk kami gunakan malam ini.

Kami tiba di tempat makan.

Acara makan malam pun di selingi dengan obrolan-obrolan singkat. Serta di selingi juga rencana bagi para penjajak hiburan malam, setelah makan malam mereka akan cabut bersama.

Mereka juga sempat mengajakku tapi aku dengan halus menolaknya dengan mengatakan lagi capek, lagi pengen istirahat saja.

Sambil makan malam, sambil ngobrol juga, aku tentu saja menyelingi aktivitasku dengan membuka-buka Wa, dan melihat-lihat status semua orang yang berada di kontak Wa yang juga baru memasang statusnya.

Kembali mataku tertuju ke status Azizah dengan menampakkan fotonya yang sama yang ia posting di instagramnya tadi sore. Foto yang sangat cantik. Posenya yang tersenyum tetapi menatap ke samping seperti model professional. Dia seperti seorang model berhijab dan berkhimar, bukan seorang PNS.

“Dilema…”

Detik kemudian, adanya penambahan story WA dari Azizah. Dengan satu kata tersebut. Aku pun bertanya-tanya dalam hati, apa maksud dari statusnya tersebut.

“Di saat rindu memberat, di saat itu juga keyakinan terujikan” kembali adik iparku itu membuat status.

Aku semakin bertanya-tanya dalam hati, namun dari pada aku malah semakin penasaran, maka ku putuskan untuk mengomentarinya.

“Assalamualaikum, Kenapa dek? Lagi galau ya?”

Send…

Ku tatap layar ponsel pintarku. Petunjuknya menandakan Azizah telah membaca statusku, tetapi sepertinya dia enggan membalas.

Aku mengirim pesan kembali, “Kata kak Azita, kamu lagi di Semarang juga ya?”

Di baca lagi, tapi tak di balas.

Ya sudahlah…

Seharusnya memang sudah seperti ini hubunganku dengannya.

Ku masukkan ponselku ke dalam saku celana, dan kembali melanjutkan menyantap makan malamku sembari sesekali mengomentari obrolan ringan yang terjadi di antara kami berlima di meja ini.

Drrrttt…

Ponsel pintarku bergetar pertanda ada notifikasi yang masuk. Ketika ku buka, ternyata balasan pesan WA dari adik iparku ini. Entah apa harus senang atau apa, ku rasakan darahku berdesir.

“Wa’alaikumsalam, iya kak, Azizah udah tahu dari kak Zita barusan” begitu balasnya.

Aku segera membalasnya.

“Iya. Kakak lagi ada acara meeting bulanan gitu di sini, katanya kamu juga lagi ada seminar ya di sini?”

“Iya kak”

Singkat bener balasnya.

Aku lantas kembali di dera rasa penasaran, serta perasaan yang agak sulit ku narasikan pada kalian. Yang intinya, aku sedikit berfikir, apakah ini faktor kebetulan atau tidak, aku berada di Semarang dan dia juga berada di sini? Dan baru juga dua hari yang lalu, wanita ini mengirimiku pesan melalui applikasi WhatsApp. Untuk kali pertama selama sebulan, dari terakhir kejadian ‘insiden’ malam itu.

Bukan hanya itu juga, dari statusnya barusan seakan-akan itu menunjukkan adanya hubungan mutualisme tentang kejadian insiden malam itu. Wait! Apakah statusnya yang mengatakan ‘rindu’ itu tertuju padaku? Apakah ia merindukanku? Merindukanku atau merindukan yang lain?

Ahhhh! Perasaanku semakin berkecamuk saja di dalam sana.

Apalagi balasan Azizah tadi yang singkat yang seakan-akan malas berkomunikasi denganku, ataukah ada hal lain yang menjadi penyebabnya ia membalas sesingkat itu?

Begitulah wanita, aku sedikit banyaknya mengetahui karena pengalamanku dengan berbagai wanita di saat bujang dulu. Itu artinya, wanita tersebut mungkin saja sedang menahan kecamuk rasa dalam hatinya terhadap pria yang tengah mengirimnya pesan.

Mungkin saja seperti itu, atau mungkin saja tidak. Itu hanya tebakan receh ku saja terhadap apa yang terjadi saat ini.

Dari pada penasaran, aku pun lantas menelfonnya saja. Tapi sebelum menelfon, aku tentu saja beranjak dari dudukku, dan mengatakan pada kawananku jika aku ingin mengangkat telfon dari istri. Yah! Mereka tentu paham, karena mereka juga sering seperti ini. Apabila ingin menjawab telfon, pasti akan berusaha untuk menjauh dari kumpulan.

Baru juga beberapa kali terdengar suara nada sambung pada nomor yang ku telfon, tiba-tiba di jawab oleh sang empunya nomor.

“Assalamualaikum, iya kak?” ah! Itu suara Azizah.

Jantungku kembali bergerumuh kawan. Sumpah, bahkan aku sampai menahan nafas saat mendengar ucapan salam darinya barusan.

“Wa’alaikumsalam dek. Kakak ganggu gak?” tanyaku sembari mengucap salam balasan padanya di awal.

“Hmm gak sih kak, kebetulan Azizah juga lagi di luar ama temen”

“Oh ya? Kakak juga kebetulan lagi di luar bareng temen, kebetulan lagi makan bareng” begitu balasku padanya.

“Hehehe kok bisa barengan gitu ya?”

“Mungkin udah jodoh kali, ups!” candaku, tapi rupanya candaanku mendapat respon biasa aja.

“Dasar kak Ar.”

Tapi aku tak habis akal, aku kembali memberi serangan coba-coba tapi tentu saja dengan cara tersirat. “Ya kan bisa saja, buktinya kakak dan kamu bisa berada di Semarang hari ini, kan?”

“I… iya sih” yes! Sedikit berhasil serangan ku kali ini, karena terbukti, terdengar suara adik iparku ini kayak yang lagi gugup gitu.

“Hmm….” aku sengaja berdehem. Sengaja membiarkan dirinya menebak, jika aku lagi berfikir untuk mengatakan sesuatu padanya. Beberapa jenak aku sengaja tak bersuara, hingga Azizah bertanya.

“A… ada apa kak?” begitu tanyanya, masih dengan suaranya yang kembali gugup saat ini. Terdengar jelas nadanya itu terbata-bata.

“Gak ada apa-apa sih, cuma….” sekali lagi aku mencoba menggantung ucapanku. Semoga dengan cara ini, aku berhasil memancing umpan, berhasil memancing rasa penasaran wanita itu.

“Cuma apa kak? Kak Ar, ih kok malah gak langsung ngomong. Bikin orang penasaran aja” yes! Sekali lagi ku sorakkan hati ini, karena umanku berhasil di kunyah oleh target.

Yang jadi pertanyaan sekarang, apa maksudku melakukan ini semua? Sejujurnya, aku belum, atau tak ada rencana saat ini untuk melakukan apa nantinya. Setidaknya, aku hanya ingin menggodanya saja. Karena, sebelumnya, dua hari yang lalu ia mengirimiku pesan dengan mengatakan jika aku jahat. Serta, ia juga tak mengangkat telfonku kala aku lagi di dera rasa penasaran tinggi karenanya.

“Kak…. kok malah diem?” Azizah mengejarku.

“Hmm, kakak cuma pengen ngobrol ama kamu, sekalian biar perasaan kakak gak berkarat kayak gini.”

“Maksud kakak?”

“Kakak cuma pengen…. hmm, maaf jika kakak salah, cuma pengen ketemu ama kamu, terus meluruskan kesalahpahaman yang pernah terjadi di antara kita.”

“Ohhh”

Hanya itu balasannya. Bukan aku kecewa dengan balasannya yang super singkat itu, melainkan, ada senyum dalam ekspresiku saat ini, karena, itu tandanya, kalimat panjang yang ku ucapkan, sedikit banyaknya kembali mengganggu pikirannya. Aku yakin, perasaan adik iparku pun terganggu, perasaannya mungkin saja kini tengah berkecamuk.

“Emangnya kamu lagi dimana sekarang?” aku kembali bersuara.

“Ka… kan la… lagi makan kak” sekali lagi, ia terbata-bata menjawab, dan kini, kadar kegugupannya semakin berat ku dengar.

“Boleh ketemuan, gak dek?”

“Hmm. Gi… gimana ya kak?” ia malah bertanya balik.

“Kalo gak boleh gak apa-apa, tapi, itu sama saja, kamu akan selalu dan selalu menggantung masalah yang terjadi di antara kita. Aku sejujurnya sudah tak bisa menahan lagi, ingin rasanya kakak mengobrol langsung denganmu, bercerita banyak hal mengenai kesalahpahaman malam itu. Kakak yakin, kamu juga paham apa yang kakak maksudkan ini. Kakak berharap, setelah pertemuan kita nanti semuanya akan menjadi clear, semuanya menjadi seperti semula, dan kita akan kembali saling menjalani kehidupan kita dengan baik-baik saja”

“Kan memang baik-baik saja kak, gak ada yang aneh-aneh kan?”

Aku menyeringai mendengar jawaban adik iparku ini. Tidak mungkin baik-baik dek, apalagi, kita sudah pernah bersetubuh meski secara tak sengaja. Bohong, jika hanya aku yang memikirkan kejadian itu, sedangkan kamu tidak. Apalagi kamu di sini adalah pihak wanita. Wanita itu, akan sulit melupakan di bandingkan seorang pria.

Karena berdasarkan pemikiran itulah, aku lantas menembaknya, “Kalo baik-baik saja, tidak mungkin kamu memasang status barusan, di story WA bukan?”

Yes. Sekali lagi, kena kamu dek. Karena, diamnya dia sama halnya perasaannya tiba-tiba di dera rasa yang campur aduk di dalam sana.

Aku yakin, amat sangat yakin, kini, adik iparku ini sedang bergejolak hatinya.

“Dek, kakak tidak akan memaksa. Kakak hanya akan bilang, kakak hanya ingin bertemu dengan kamu, mencoba untuk memperbaiki hubungan kita yang bohong jika hubungan kita baik-baik saja, tidak perlu kakak jelaskan kenapa kakak bisa paham hal itu, karena kamu, sikapmu pada kakak, serta kebiasaanmu selama ini, semuanya berubah dek. Terutama pada kakak.”

“Tapi sekali lagi, jika kamu memang tidak ingin bertemu dengan kakak saat ini, itu artinya memang, sedang tidak baik-baik saja, karena apabila baik-baik saja, bukankah kakak dan adik yang ingin bertemu, hal biasa terjadi bukan? Apalagi, ini, kita berdua tinggal tak sekota, jadi hal wajar apabila seorang kakak merindukan adiknya, dan ingin mengajak adiknya untuk bertemu bukan?” Aku masih menyerangnya, berusaha untuk meruntuhkan pertahanannya.

“Jadi, semuanya kakak serahkan ke kamu. Kalo kamu setuju kita bertemu, artinya kita akan jauh lebih cepat menyelesaikan masalah di antara kita berdua, jika kamu tetap bersikeras menolak terjadi pertemuan, maka… kakak bisa pastikan, masalah ini akan semakin keruh, akan semakin membuat hubungan kita berdua tidak baik-baik saja, dan juga, akan membuat, kakak akan terus dan terus menerus memikirkan dua wanita sekaligus dalam hati kakak. Bukan hanya Azita istri kakak, melainkan, kamu, juga ada di hati dan pikiran kakak sejak kejadian kala itu.”

Aku mengambil nafas, kemudian melanjutkan ucapan terakhirku padanya melalui telfon malam ini. “Jadi begitulah, kakak permisi ya mau lanjut makan…. Assalamualaikum” Dan yah! Tanpa menunggu jawaban balasan darinya, aku segera mengakhiri panggilan telfonku bersamanya.

Baru juga ingin ku kantongi HP ku, ada pesan masuk di WhatsApp.

Dari Azizah?

Aku lantas menyeringai, dan membatalkan niatku untuk kembali duduk di tempatku semula.

“Kak Ar jahat…. kak Ar dengan tega selalu dan selalu membuat adek seperti ini”

Aku tak membalas. Aku hanya senyum saja membacanya.

Pesan berikutnya pun datang lagi, “Kak…. kakak sudah berhasil membuat adek nangis sejadi-jadinya sekarang. Kakak Ardan memang tega. Kakak tegaaaaaaaaaaaaaaaaa…………………………….. (Emoticon Nangis yang jumlahnya banyak bener)”

Sekali lagi, aku cuek dan tidak membalas pesannya.

“Pokoknya, malam ini kakak harus menemui Azizah. Titik! Awas kalo tidak, Azizah bakal laporin ke kak Zita nanti…….”

Degh!

Dan seketika itu juga, aku pun tersenyum penuh kemenangan setelah membaca pesan terakhir dari adik iparku ini.

“Kak Ar yang jemput, atau Azizah yang datang sendiri menemui kakak?” sekali lagi, pesan kembali masuk pada ponselku saat aku telah menghabiskan makan malamkku bersama kawananku ini.

Pesan dari Azizah karena aku masih saja mendiamkannya. Jadi percayalah kawan, kalian bisa mencoba caraku ini, apabila kamu sedang mengejar mangsa betina, maka patut kalian coba biar mereka bisa sepensaran ini.

Karena sudah sesuai rencana, maka aku pun mengiriminya pesan, “Terserah kamu aja dek, kakak ikut aja bagaimana baiknya”

“Kakak share loc aja hotel tempat kakak menginap”

Eh? Jangan bilang dia mau ke hotel? Waduh, mana banyak banget anak-anak disana, kan bisa berabe kalo ketahuan jika aku tengah menerima tamu di malam hari. Tapi, bukankah, kalo bersikap wajar dan tak ada niatan aneh-aneh, hal wajar jika bertemu dengan adik meski hanya sekedar adik ipar saja, bukan?

Karena di dasari hal itulah, aku pun akhirnya membalas pesan Azizah dengan menyebut nama hotel tempatku menginap saat ini.

Pesan selanjutnya pun kembali datang, dengan mengatakan, setengah jam lagi ia akan ke sana naik grab. Waduh! Mana aku masih disini, masih ingin ngobrol dengan kawan-kawan.

Tapi, dasar logika mengalahkan rasa di dalam sana, pada akhirnya aku memutuskan untuk lebih dulu berpamitan pada mereka dengan mengatakan aku akan naik ojek saja karena kebetulan ada saudara yang mau bertemu denganku di hotel.

Yah! Setidaknya memang benar terjadi seperti itu, jadi di saat ada yang sempat melihatku bersama adik iparku ini, tak ada ruang pemikiran aneh-aneh yang akan terjadi nantinya.

Singkatnya, dengan menggunakan jasa gojek motor aku akhirnya tiba di hotel hanya dengan waktu 15 menitan saja. Setidaknya aku lebih cepat tiba di bandingkan dengan rencana Azizah yang datang ke hotel.

Aku pun lantas mengirimkannya pesan, “Kakak udah di hotel. Kalo mau mending ketemunya langsung di kamar kakak aja, setidaknya biar gak ada yang lihat dan bakal mikir yang enggak-enggak dek. Jadi kamar kakak 244 ya, nanti kakak akan nitip satu kunci buat akses lift di resepsionis. Kamu tinggal sebutin nama saja dan bilang kamu adik kakak aja yang tinggal disini, oke?”

Tak ada balasan.

Intinya, tugasku disini hanya menunggu. Bukan menunggu di sini, melainkan menunggu di kamar. Toh! Jika memang sudah sesuai rencana maka Azizah akan langsung naik ke kamar, karena barusan juga aku sudah menitipkan ke pihak resepsionis dan cukup menyebut nama yang akan menemuiku yang juga telah ku titipkan satu smartcard buat mengakses lift nantinya, sudah sesuai juga dengan yang ku katakan pada adik iparku tadi melalui pesan WhatsApp.

Sedikit batinku pun ikut bertanya-tanya, apa yang bakal terjadi nantinya di saat aku bertemu dengan adik iparku ini.

Apakah malam ini kejadian di antara kita berdua akan terulang pada kejadian insiden malam itu?

Entahlah.

Jangankan berharap, memikirkannya saja aku masih ragu, aku agak takut apabila keinginanku ini terlalu besar dan malah akan jadi kenyataan. Itu artinya, aku benar-benar akan berselingkuh? Hadeh! Pusing bro!

Sesampainya di kamar, ku rebahkan tubuhku di kasur sambil sibuk pada ponsel pintarku ini. Dan begitu ku tengok jam pada dinding, rupanya sudah lewat jam 9 malam. Artinya sedikit lagi, jika sesuai dengan pernyataannya setengah jam, maka mungkin sekarang ia sudah berada di bawah.

Entahlah, sekali lagi, aku tak mau berfikir lebih jauh. Tugasku hanya menunggu, dan menunggu apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Rupanya aku gagal menyibukkan diri pada ponselku ini, karena sejak masuk ke kamar, pikiranku masih melayang-layang tentang kejadian malam itu di rumahku bersama Azizah, serta segala kebetulan yang kami alami saat ini.

Berada di kota Semarang bersama Azizah.

Siapa yang akan mengira kejadian ini bakal terjadi.

Hadeh!

Tapi, kok dia malah belum datang? Haha! Ngarep dot com, bro!

10 menit berlalu…

20 menit lagi, akan memasuki pukul 10 malam.

Hingga kemudian aku dikejutkan dengan………………………..

Tok! Tok! Tok!

Aku hampir saja terlonjak kaget serta kegirangan karena mendengar suara ketukan pada pintu kamarku ini. Aku yakin, itu pasti Azizah meski sampai sekarang ia tak mengabariku baik melalui pesan atau menelfon langsung.

Tanpa pikir panjang lagi, aku pun segera melangkah membukakan pintu buat wanita yang tengah menunggu di depan.

Begitu pintu ku buka, tampaklah sosok adik iparku ini yang tengah mengenakan khimar penutup wajahnya, yang juga membedakan dia dengan istriku, yang adalah saudari kembarnya sendiri.

“Assalamualaikum, kak Ar” sapanya.

“Wa’alaikumsalam, dek” balasku dengan salam yang hikmat. “Yuk, masuk aja dek. Gak enak kalo ada temen kakak yang liat nantinya”

Azizah lantas mengangguk.

Begitu ia melewatiku, semerbak aroma parfum yang berkelas langsung menyeruak masuk ke indera penciumanku, menambah kegaduhan jantungku di dalam sana.

Begitu kami sudah didalam, begitu aku sudah menutup pintu, aku lantas menyuruhnya untuk duduk di sofa yang kebetulan berada di kamar ini. Meski, hanya satu dan cukup satu orang yang bisa mendudukinya.

“I… iya kak” terdengar jawaban adik iparku ini agak sedikit gugup. Tanpa ia sadari, aku senyum di belakangnya yang tengah berjalan menuju ke sofa yang ku maksudkan itu.

Lantas, sekarang apa yang mesti ku lakukan?

Ahh! Gak tahu, gak ngerti lagi apa yang mesti ku lakukan, kawan. Aku hanya mengikuti arus saja, kemana akan tertuju jalan kami nantinya.

“Mau minum?” tanyaku.

Dia menggeleng, lantas ia membuka khimarnya, karena memang, sudah biasa ia lakukan menunjukkan wajahnya padaku.

“Gak usah kak,” balasnya. Tapi aku tetap mengambilkan sebotol air mineral dan menyodorkan padanya.

Aku kini duduk di tepi ranjang. Hanya berjarak semeter aja dengannya, karena yah, kamar ini tidak luas-luas amat. Menatapnya, dan wanita itu balas menatapku.

“Aneh yah?” gumamku.

Dia mengangguk.

“Baiklah, apa yang ingin kita obrolin sekarang?” begitu tanyaku.

Dia malah menggeleng. “Gak ngerti kak”

Aku menarik nafas dalam-dalam.

“Zah…. sebelumnya, kakak ingin memohon maaf atas apa yang terjadi kala itu ya, jujur, kakak bener-bener khilaf apalagi kakak memang gak tahu kalo itu kamu, karena sebelumnya kakak mikir kamu itu adalah Azita. Hadeh, malah kamu gak ngomong pas kita baru akan memulai” mendengar itu, aku melihat wajah adik iparku ini agak memerah. Apalagi kulitnya yang putih, semakin jelas terlihat paras cantiknya di hiasi dengan rona merah tersebut.

“Karena, kakak hampir sebulan gak…” aku menahan sedetik omonganku, hanya untuk sekedar berfikir kata yang pas yang ku gunakan buat menyampaikan hal ini padanya, “Gak ngeseks ama istri karena kakak habis meeting di Jakarta kala itu”

Splash…..

Sekali lagi, adik iparku ini memerah.

“Ya sudah, karena itulah, karena nafsu kakak lagi menggebu-gebu banget alhasil. Salah sasaran deh! Fiuh, untung kita gak sampai ngewe ya dek” aku memang sengaja berkata vulgar karena ingin melihat bagaimana reaksi wanita ini.

“A… apaan gak sampai. Ki… kita udah be… bersetubuh kak”

Yeah!

Aku girang di dalam sana, karena mendengar jawabannya.

Tapi tentu saja, aku tak menunjukkan bagaimana girangnya aku di hadapannya, aku malah bergumam, “Masa sih? Padahal kakak kira kita gak sampai gituan”

“A… apaan gak s… sampai kak. Pu… punya kakak sudah ma… masuk dan bahkan su… su… ahhh!” adik iparku tak melanjutkan. Suaranya amat sangat pelan ku dengar. Sepertinya ia berusaha untuk mengatur nafasnya yang kini amat sangat sulit ia tarik hembuskan. Entah apa yang di rasakan dan di pikirkan adik iparku ini.

Tapi setidaknya, aku hanya ingin memancing sejauh apa sih permainan ini akan terjadi. Dan seperti apa sih endingnya nanti. Selanjutnya, aku sengaja menarik nafas, menunjukkan jika aku sama menyesalnya dengan yang ia rasakan. “Maafkan kakak”

“I… iya kak”

“Tapi, boleh kakak membela diri gak?”

“Iy… iya kak”

“Di sini, kamu juga patut di salahkan loh, kamu kenapa sebelum kita ngewe itu, kamu malah gak ingetin ke kakak jika kakak salah orang”

Azizah malah menunduk.

“Su… sudah kak” jawabnya masih dengan kegugupannya.

“Sudah?” aku mengernyit, meski saat ku ingat kejadian itu, memang ia sempat mencoba untuk menjelaskan tapi aku malah yang tak memberinya ruang untuk menjelaskan.

“I… iya, tapi….”

“Tapi apa dek?”

“Tapi, kakak malah yang gak ngasih kesempatan buat adek untuk ngejelasinnya”

Aku sedikit mencondongkan tubuhku ke depan, hanya untuk sekedar menyentuh pergelangan tangannya. “Maafkan kakak dek” Anehnya, adik iparku ini tidak menepis tanganku yang sudah memegang pergelangannya.

Dan beberapa jenak berikutnya, kami hanya duduk terdiam dalam lamunan masing-masing. Sedangkan tanganku, seakan di biarkan memegang pergelangannya.

Pikiranku sudah mulai liar ke mana-mana. Entah, apa yang kini adik iparku ini pikirin. Sejujurnya, baru kali ini aku di hadapkan dalam situasi hanya berdua saja dengan iparku.

Hingga akhirnya ia mulai bersuara kembali.

“Ju… jujur, sa… sampai sekarang, a… aku sulit un… untuk melupakan ke… kejadian malam itu, kak” sembari menjelaskan, sembari wajahnya tertunduk.

“Bah… bahkan, a… aku sangat berdosa se… sekarang, karena sudah… sudah sering membandingkannya dengan…. dengan”

Aku mengejar, “Dengan apa dek?”

Dia menggeleng.

“Maafkan kakak dek, sungguh”

“G.. gak apa-apa kak”

“Boleh kakak nanya lagi gak?”

Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan ekspresi ahhh! Sulit aku jelaskan pada kalian, bro.

“Kamu…. menyukai kejadian malam itu?” biarlah kalimat itu terucap begitu saja, melangkah ke step yang lebih nekad lagi menurutku. Dan itulah yang akan ku lakukan sekarang….

“Karena jujur, kalo kakak, kakak menyukainya. Kakak suka dengan yang terjadi malam itu, kakak menyukai, menikmatinya… amat sangat menikmatinya, hingga sampai saat ini jujur, kakak masih sulit untuk melupakan, bahkan bersetubuh dengan kakakmu Azita saja, dalam pikiran kakak, adalah melakukan hubungan seks tersebut bersamamu, sumpah… sungguh kakak tidak bohong”

Selanjutnya, ku kecilkan suaraku dengan di iringi desahan, “Karena, tubuhmu benar-benar sempurna, benar-benar membuatku amat sangat bergairah. Sumpah,”

Adik iparku tidak menjawab, dia malah menatapku.

Dalam….

Amat sangat dalam tatapannya saat ini.

Dalam diam kami yang entah berapa lama itu aku serasa mendengar dengusan nafasnya yang berat. Namun meski demikian, aku tak boleh sembarang bertindak. Selain menjaga image ku, aku juga tidak tau kemungkinan apa yang akan terjadi.

Adik iparku masih saja menatapku amat sangat dalam dan penuh makna.

Aku merasakan dadaku mau meledak ketika aku mencoba menaikkan tensi sentuhanku, bukan hanya di pergelangannya saja, tapi kini, sedikit merosot ke bawah, meraih telapak tangannya untuk ku…………

Ahhhh! Rasanya, bener-bener bergelora bro, di saat, telapak tanganku berhasil bertempelan dengan telapak tangan adik iparku ini.

Kami bergenggaman.

“Maaf” kataku meski dia telah membalas genggaman tanganku. “Maaf jika kakak sudah sempat membuatmu menunggu sebulan ini, kakak…. maafkan kakak jika kita…..”

Aku tak melanjutkan, hanya sekedar bergumam mengikuti keinginan hati yang bergejolak di dalam sana.

Kini matanya terpejam.

Hanya sebentar terpejam, kemudian kembali membuka. Dan kini, adik iparku ini, hanya terdiam dan menatapku tajam. Alhasil, yang terjadi, kami kembali terdiam saling menatap.

Pada tahap ini aku merasa dadaku semakin menggemuruh apalagi ketika ku condongkan wajahku ke mukanya.

Ini hanya sebagai pancingan semata. Aku ingin melihat respon wanita ini seperti apa.

Dan…

Akhirnya umpanku termakan olehnya.

Di saat aku mulai melihat bibirnya yang merekah basah mulai agak terbuka, pada saat itu loyalitas pernikahan dan kesetiaan berkelebat memenuhi rongga-rongga otakku dan serasa semakin ingin memecahkan kepalaku. Matanya memejam dan dengusan nafasnya yang berat semakin dekat.

-BERSAMBUNG-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *