Salah Masuk Kamar Adik Iparku Yang Cantik – Part 10

Akhh….. Penat yang menumpuk setelah mandi akhirnya buyar sudah, seiring rembesan air yang perlahan menyusut di kamar mandi. Dan kini tinggal satu masalah lagi yang belum ku tuntaskan. Menurunkan kadar birahiku yang masih terbakar.

Apa boleh buat, aku tetap harus bertahan dengan kondisi terbakar seperti ini, jika tidak mau kejadian salah sasaran lagi seperti malam itu, di kamar pribadiku bersama Azizah yang efeknya rupanya sangat panjang sampai sekarang, sampai wanita itu kini sudah bunting akibat perbuatanku.

Aku keluar kamar….

Aku tahu istriku sudah tak berada di rumah, karena tadi mereka sudah janjian ingin ngumpul di rumah utama sembari menikmati waktu bersama seperti dulu lagi. Alhasil, lagi-lagi aku hanya bisa mendengus karena gagal untuk bersetubuh sore ini.

Dengan hanya dililit handuk selutut, kupandangi tubuhku di cermin dalam kamar. Ku ambil ponsel di saku celanaku dan ku kirimkan WA ke istriku.

“Bun… ke kamar dulu, ayah bener-bener pengen banget nih” begitu pesan yang ku kirim padanya.

Tak ada balasan….

Belum di baca pula isi pesanku. Sepertinya obrolan mereka lagi seru-serunya. Tapi, aku tak putus asa.

Aku punya ide.

Hmm….

Karena dulu pernah ku lakukan saat istriku lagi males melayani nafsu birahiku. Aku lupa kapan itu terjadi, tapi pernah dan berhasil.

Pada akhirnya, dengan senyum menyeringai akupun membuka handukku, hingga kini aku telah telanjang bulat di depan cermin dengan kondisi si kodir yang lagi mengacung keras dan gagah di bawah sana.

Dengan mengarahkan kamera boba ponselku ke depan kaca.

Jepret!

Aku mengambil fotoku nyaris full body. Belum puas rasanya, maka ku arahkan kamera ponseku ke penisku yang masih berdiri perkasa itu.

Jepret!

Sekali lagi ah…..

Jepret!

Wow! Close up banget nih si Kodir borokokok. Ahahahaha…..

Aku sendiri geli saat memeriksa hasil jepretanku. Mana bentuknya udah tegang maksimal dengan urat-urat yang keliatan banget di beberapa sisi batangnya. Topi bajanya sudah memerah kecoklatan akibat birahiku yang masih terbakar.

Ku buka kembali applikasi WhatsAppku, kemudian ketiga foto yang ku jepret tadi segera ku kirim ke nomor WA istri dengan kalimat, “Tuh bun. Berdiri banget. Kalo udah kayak gini, ayah bakal sulit bernafas, sulit berfikir jernih. Apa bunda mau kalo ayah gelap mata, terus pantat bebeknya papa di kandang belakang bakalan jadi korban?”

Send!

Oke kan caraku?

Dan ku yakin 100% pasti bakal berhasil

Well! Sekarang, aku cukup menunggu dengan sabar kedatangan istri tercinta ke kamar ini, sembari tetap hanya mengenakan handuk, karena percuma berpakaian, toh, sebentar lagi bakal di buka juga. Apalagi istriku selama ini tak suka apabila ku senggamai dia dengan menggunakan baju. Dia paling suka jika aku setubuhi dalam kondisi bugil, karena dia amat sangat menikmati bentuk tubuhku yang katanya, seksi. Yah, ini sih pandangan seorang wanita. Kalo cowok yang melihatnya pasti bakal muntah. Haha!

Dan satu lagi, seharusnya kami berdua amat sangat bebas melakukannya, karena Intan putri kami berdua benar-benar tak ikhlas di lepaskan oleh kedua mertuaku. Bahkan tidur siangnya pun tadi di kamar mertuaku di rumah utama.

Tapi dasar istriku, dia malah terlalu terlena dengan pertemuan dua saudarinya itu, serta melupakan kewajibannya sebagai istri buat meredakan birahiku yang sedang terbakar ini.

Trap! Trap! Trap!

Tak begitu lama, aku mendengar suara derap langkah kaki dari luar menuju ke kamar. Pintu kamar juga sengaja tak ku kunci. Langkahnya juga terdengar amat sangat cepat.

Aku langsung senyum menyeringai, merasa menang mutlak terhadap istriku karena sebentar lagi, dikau terkasih bakal ayah siksa sampai merintih-rintihi tak karuan. Hohoho!

Brak!!!

Loh he? Kok malah pake acara ngedobrak pintu segala sih?

Wahhh, jangan bilang Azita pun sama tak tahannya seperti yang suaminya rasakan sekarang?

Namun nyatanya, aku salah. Aku benar-benar telah salah mengambil tindakan bro! Karena hal itu ku ketahui setelah pintu kamar di buka cukup keras, kemudian sosok istriku masuk, tidak marah sih, cuma wajahnya merah banget seperti udang yang habis di rebus.

“Ayahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh ihhhhh apa-apaaan sih ngirim foto ginian.” ujar istriku mengerang penuh kekesalan namun agak sedikit manja kedengarannya, sembari ia menunjukkan ponselnya di hadapanku.

Hanya sedetik saja ia mengambil jeda, kemudian ia melanjutkan lagi ucapannya, tanpa memberikanku kesempatan untuk mengeluarkan satu katapun. “Ini Hp tadi lagi di pegang ama kak Nira.”

Degh….

“Bun. Ini gimana sih ceritanya, kok semua langsung pada tahu?” begitu bisikku pada istriku, yang rupanya di dengar oleh yang lain. “Bukannya tadi bunda bilang, kalo Azizah gak sempet liat. Piye toh?”

“Hahaha, jadi gini kak………………………..” Azizah yang mendengar, langsung nyahut.

Dan di mulailah cerita si Azizah :

Jadi sore tadi, mereka bertiga tuh lagi ngumpul di ruang santai sembari mengobrol dan bergosip ria khas para wanita yang jika sudah berkumpul, pasti hal ini tak dapat di elakkan lagi.

Karena istriku baru saja mengganti HP iphone 14 terbaru, setelah yang sebelumnya ia jual, dan aku hanya menambahkannya sedikit saja hasil dari THR 1,5 gajiku di dua minggu sebelum lebaran, alhasil, kak Nira pun tergoda untuk sekedar mencobanya. Apalagi iphonenya sudah cukup jadul. Hanya Iphone x promax yang keluarannya 3 or 4 tahun yang lalu. Sedangkan Azizah, iphonenya cukup baru, iphone 11.

“Dek, liat donk hp kamu” begitu ujar Nira saat meminjam ponsel istriku.

“Oh nih kak” istriku pun lantas memberikan ponselnya pada kakaknya itu. Tentu saja, setelah ia membuka lock screennya dengan menggunakan sensor muka.

Sembari mengobrol, sembari jari-jari Nira sibuk ngutak-ngatik ponsel istriku. Begitulah cerita dari Azizah yang semakin mengalir, semakin membuatku agak penasaran.

Tak begitu lama, masuk notifikasi pesan di ponsel istriku. Pasti paham kan notifikasi pada iphone saat adanya pesan whatsapp masuk? Dan itu adalah pesan pertama dariku yang menyuruh istriku segera ke kamar. Pantas saja ia tak membalas pesanku yang pertama, karena ponselnya sedang di pegang Nira, yang juga langsung mengatakan pada istriku, “Dek, kayaknya si Ar WA tuh”

Tak ada yang tahu pasti, apakah pesanku sudah di baca atau belum oleh Nira. Kerana pas kejadian itu, aku juga tak melihat adanya tanda centang 2 biru pesanku.

Karena yang tahu hanya Nira dan sang maha pencipta, tapi seharusnya sih, istriku bisa tahu karena kalo dia sudah buka maka notifikasi pada layar screen saat terclose bakal menghilang. Kalo belum di baca, begitu screen di lock maka notifnya masih terus muncul pada layar di depan. Tapi, karena istriku masih sibuk ngobrol dan membiarkan ponselnya masih di pegang kakaknya alhasil ia pun tak menyadari detailnya tersebut. Toh! Pesan pertama juga bukanlah pesan yang aneh-aneh menurutku. Hanya menyuruh istriku untuk segera ke kamar saja, karena aku lagi gak tahan. that’s it!

Dan setelah beberapa jenak lamanya, di saat Nira yang masih sibuk meliat-liat ponsel istriku, akhirnya pesan kedua dariku beserta 3 gambar sekaligus, yang juga menjadi satu-satunya penyebab aku kini harus menerima bullyan dari mereka, terkirim.

Entah apakah Nira memang sengaja membuka atau tidak sengaja membuka pesan dariku itu yang terakhir. Dan juga, penasaranku kini semakin menjadi-jadi.

Muncul sebuah pertanyaan, apakah saat Nira melihat jeroanku, dia langsung spontan memberikan ponsel itu ke istriku, ataukah beberapa jenak ia sempat menikmati dan meresapi serta mengagumi bentuk dan kekokohan pentungan bertopi bajaku itu, mana secara close up banget lagi aku ambil gambarnya. Hahahaha!

Yang terjadi setelahnya, juga dari cerita Azizah yang masih mengalir ini, Nira langsung bereaksi dengan menunjukkan layar ponsel istriku. “Ihhhh apaan ini, dek”

Seketika itu juga, mata istriku langsung membelalak dan segera merampas ponselnya dari tangan kakaknya. “Astagfrullah….. ihhhh maafin suami ku ya kak. Dia memang kayak gini. Astaga… astagaaaa malu maluin banget ih”

Azizah yang penasaran, malah langsung mengambil ponsel dari tangan istriku yang tidak di genggam kuat oleh istriku. “Apaan sih kak?”

Untung saja, istriku dengan sigap segera merampasnya kembali dari tangan Azizah. Tapi aku yakin, toh, juga sudah sesuai kejadiannya, Azizah sempat melihat, wong dia juga lah yang memulai bullyan tadi.

Wajahku semakin memerah mendengar cerita itu.

Bahkan menurut pengakuan Azizah, ia juga sempat membaca kalimat yang tertera di pesanku itu. Wanjir! Dan seperti dugaanku, rupanya Azizahlah yang memberitahukan pada yang lain mengenai kejadian tersebut.

“Jadi begitu ceritanya, kak Ar” Azizah akhirnya menyudahi ceritanya.

Ya sudahlah. Udah kejadian juga, gak mungkin kan aku menghindar sekarang, alhasil aku pun berusaha cuek dan kembali menikmati makan malamku sembari sesekali menimpali bullyan mereka yang kadarnya mulai berkurang. Bahkan, mama mertuaku juga sesekali menegur salah satunya jika bullyannya kelewatan.

Selesai makan….

Selesai menikmati udud di luar, aku kembali masuk ke dalam rumah utama.

Karena bingung mau ngapain, aku pun memutuskan untuk duduk di sofa sambil menatap istriku dan kedua iparku yang tengah bercerita tentang apa saja yang ingin mereka ceritakan.

Tampak Azizah sedang membelai rambut putriku Intan yang sudah tertidur di karpet lembut, dan istriku sedang asyik bercerita. Sedangkan kak Nira duduk secara anggun, seolah menjaga sikapnya apalagi di saat menyadari kehadiranku tak jauh dari mereka saat ini.

Sempat ku sadari sikapnya agak aneh, tiba-tiba menunduk, tiba-tiba matanya agak gimana gitu menatap ke arahku. Entahlah, apa maksudnya, atau hanya imaginasiku saja yang malam ini semakin liar kemana-mana. Sayangnya aku tidak bisa melihat jelas ekspresinya, karena wajahnya masih tertutupkan khimar.

Beberapa jenak berikutnya, aku sempat menguping, saat Nira yang bercerita. Rupanya memang belakangan ini wanita itu sering mengikuti kegiatan di sebuah organisasi islamiyah gitu, dan ia kini mulai konsisten mengenakan khimar. Apalagi ia juga harus menjaga fitnah karena mengingat suaminya yang memiliki pangkat yang lumayan di TNI.

Baru saja aku ingin beranjak, karena bosen dengan keadaan, tiba-tiba istriku mendekatiku dan menyodorkan beberapa uang.

“Ayah, minta tolong beliin martabak ama terang bulan ya. Hehehe, tuh, bumil lagi pengen katanya” sambil berucap, sambil menunjuk ke arah Azizah.

“Ye, kan kakak juga bumil” balas Azizah dari jauh.

“Ya udah…” Ku ambil uang itu dari tangan istri. Dan menyanggupinya.

“Kalian masih mau nitip yang lain gak?” tanya istriku pada kedua saudarinya itu.

Satu persatu pesanan mulai meluncur dari mulut Nira dan Azizah hingga aku bingung saking banyaknya. Mereka ini perempuan tapi pesen makanannya banyak sekali.

“Banyak banget. Ayah cuma mau jalan kaki ke depan buat beli”

“Mana ada di depan kak. Hahaha, harus keluar ke Soekarno Hatta” jawab Azizah sembari senyum gimana gitu.

“Waduh jauh ya”

“Iya emang jauh, yah. Makanya lebih baik naik mobil aja. Atau bunda pinjemin motor bang Muslim?” bang Muslim itu adalah sepupu istri yang tinggal di dekat rumah mertua. Hanya berjarak beberapa rumah saja. Memang sih, di rumah ini tak ada sama sekali kendaraan. Yang juga baru ku ketahui, ternyata si Rafiq suami Azizah tidak mahir mengendarai motor, karena alasannya ia pernah trauma jatuh dan terluka parah. Makanya, setelah itu ia tak mau lagi untuk naik motor. Mau beli mobil, katanya duit belum mencukupi.

Jadi keluarga di sini kalo mau kemana-mana mengandalkan ojek online. Yang juga di jaman canggih sekarang, bukan perkara sulit untuk mencarinya. Cukup dengan sekali klik dari smartphone.

“Gak usah. Ngerepotin aja. Ya udah biar ayah naik mobil aja” cetusku. “Temenin ya bun” lanjutku sembari mengajak istriku untuk ikut.

“Males yah. Pasti kalo bunda ikut, bakal lama belinya. Hahahaha, tau kan kalian apa yang bakal terjadi? Bakal ada kejadian mobil bergoyang tuh nantinya” cetus istriku yang membuat kedua saudarinya itu tertawa.

“Jadi mending ama kak Nira aja” begitu lanjut istriku. Mendengar itu, entah mengapa jantungku berdegub kencang. Apakah akan kejadian sesuatu yang memang ku inginkan?

Jreng!

Jreng!

Aku berdoa, amat sangat berharap, kata ‘Iya’ atau ‘Oke’ terucap dari bibir di balik khimar itu.

Namun, rupanya keinginanku itu harus ku kubur dalam-dalam, di saat mendengar jawaban dari Nira. “Jangan dek. Biar sama Zizah aja.”

Waduh….

Malah jauh lebih berbahaya kalo sama dia. Begitu batinku.

Ku lirik Azizah yang sedang membelai Intan. Ia melirikku sekilas, dan aku rasa ada yang aneh dalam lirikannya. Segaris senyum yang sangat misterius mengembang di bibir mungilnya.

“Gimana, dek?” Tanya istriku ke adiknya itu.

Azizah menghela nafas.

“Hhhh… iya, deh” lalu menjawab, sembari menghela nafasnya, seolah-olah ia agak berat untuk mengikuti keinginan kakaknya itu. Padahal mah, jika boleh ku tebak, ia sengaja kayak gitu, di dalam hatinya pasti sedang bergembira karena memilik waktu berduaan lagi denganku.

“Jangan ngambek ih. Namanya juga bungsu, jadi harus ikut apa kata kakak-kakaknya.” ujar istriku.

“Iya… iya, bawel” balas Azizah kembali.

Tak lupa ia mengenakan khimarnya sebelum ikut bersamaku keluar rumah.

“Jadi gak, kak Ar tadi buat make si bebek di belakang?” tanya Azizah saat kami baru juga meninggalkan rumah, sembari secara perlahan tangannya bergeser ke samping yang kebetulan posisinya duduk di jok sebelahku, dan tangan usilnya itu kini mulai menjalar turun di selangkanganku. Perlahan tangannya turun dan kini telah menggenggam senjataku dari luar. Ini agak mengganggu konsentrasiku.

“Enakan mana, kak Ar… pantat bebek atau memeknya adek?” Tanya Azizah sambil terus meremas senjataku.

“Ahh kamu ini. Nekad amat sih. Bercadar tapi binal banget kamu dek”

“Auw sakit. Woi….” aku lantas menjerit, karena tiba-tiba saja setelah barusan mengatakan padanya jika ia binal, Azizah lantas mencubit senjataku dengan keras.

“Siapa suruh ngaatain adek, binal….”

“Iya iya maaf. Gak pake di cubit juga kali. Ntar gak bisa bangun kan, bisa runyam jadinya”

“Biarin wekkk”

“Adddohhh….” Dicubit lagi.

Aku tidak tahan lagi menerima perlakuan ini. Kali ini harus ada balas dendam. Ku arahkan mobil ke tempat yang agak sepi.

Begitu ku yakin tempat ini agak sepi, akhirnya aku pun mulai meniatkan untuk menjalankan aksi pembalasan dendamku pada akhwat bercadar ini.

Ni….

Ra…?

“Ahhhh ayahhhhh, kan bunda jadi malu, kak Nira udah lihat perabot ayah yang seharusnya tak boleh di liat wanita lain selain bunda. Duhhh malunya bunda….. idiiiihhhhh ayah. Ini nih gara-gara ayah gak bisa ngilangin pikiran mesumnya, kan malah kejadiannya kayak gini.”

Degh!

Waduh?

Again? Salah sasaran lagi?

Bangkeeeeeeeeeeeee…..

Bangkeeeeeeeee woi….

Bajigurrrrr……..

“Ayah bener-bener ceroboh. Liat deh, habis ini, kita berdua bakal jadi bulan-bulanan bully-an mereka”

Pusing. Asli, pusing bro. “Waaaduh! Ini nih gegara bunda…..”

“Lah kok bunda sih?”

Ingin rasanya aku langsung mengatakan yang sesungguhnya, karena kejadian ini nyaris sama persis dengan kejadian aku bersama Azizah. Dan sebab terjadinya hal tersebut, karena kesalahannya mutlak. Amat sangat mutlak karena membiarkan birahiku terbakar hingga membuat pikiranku amat sangat liar. Beginilah kalo pria yang lagi sange berat. Kadang, tindakannya di luar nalar, kadang aku kira hal biasa, tetapi bagi orang lain, tindakan tersebut tidak wajar. Namun, untuk kejadian kali ini sih, aku sedikit bersyukur. Karena bedanya, waktu sama Azizah itu sudah amat sangat jauh tindakanku. Tapi dengan Nira, malah sedikit lebih slow. Hanya menunjukkan keperkasaanku yang kalo di telaah lagi, aku tiba-tiba merasakan jantungku berdegub kencang. Pertanyaan mesum mulai timbul di benak. Apa yah yang langsung di pikirkan Nira saat melihat penisku di ponsel istriku tadi?

Apakah ia langsung bergejolak?

Atau hanya biasa saja? Mengingat suaminya yang memiliki badan kekar karena seorang perwira TNI. Jadi tentu saja, pentungan suaminya jauh lebih mantap daripada punyaku.

“Iya gara-gara bunda gak mau melayani ayah. Kan ayah jadi nafsu banget tau”

“Tau ah. Pokoknya bunda gak mau nanggung loh kalo bentar di bully ama mereka. Pokoknya ayah harus bertanggung jawab memberesi masalah ini sendirian”

“Loh, ini kan juga salah kamu bun”

“Gak mau. Gak mau tau….. ihhhh ayah. Kesel deh jadinya. Akhirnya penisnya ayah di liat ama kak Nira.”

Asal kamu tahu sayang, bukan hanya Nira yang melihatnya. Adik kembarmu malah lebih parah, sudah jadi bunting sekarang karena pentungan suamimu ini. Hahahaha!

“Trus kalo udah di liat kenapa emang? Kan dia bukan anak kecil. Udah biasa liat kayak gitu juga. Hehe” aku membela diri. Sedikit meredakan gejolak dalam dadaku.

“Lagian juga, setelah Nira liat gak mungkin kan dia pengen bantuin bunda buat gantiin meninaboboin ini….” sambil ku pegang si kodir, sambil bercanda ke istri.

“Ihhh sinting…. Au ah gelap”

“Jadi…. sekarang ayah sudah bisa mengambil jatah, kan?”

“Gak ada jatah-jatahan. Pokoknya ayah harus belajar menahan diri. Jangan grasak-grusuk kayak gini. Coba bayangin kalo tadi kak Nira sempat memindahkan ponsel bunda ke Azizah. Jadinya sudari-sudari bunda sudah liat rahasia yang tersimpan dari ayah. Uhhhh maluuu banget”

Mendengar itu, aku sekali lagi membatin. Kalimat yang sama yang bunyinya, Azizah bukan lagi melihat, tapi sudah di buntingi.

“Ya sudah… nanti ayah bakal jelasin ke Nira”

“Iya pokoknya ayah harus bertanggung jawab sendiri, bunda gak mau jadi bulan-bulanan bullyan mereka nanti”

“Sip. Jadi sekarang……” aku berdiri, menunjukkan penisku yang masih berdiri ke istri. “Bisa donk kita lanjutkan ini. Minimal turunin dulu atuh”

“ENGGAK!” istriku langsung melangkah meninggalkanku setelah mengatakan itu, menutup pintu kamar.

Fiuh!

Gagal maning…. Gagal maning!

==============================​

Jreng… Jreng!

Apa yang terjadi selanjutnya, saudara-saudara? Di saat aku memutuskan untuk bergabung bersama mereka untuk makan malam bersama?

Semua mata langsung tertuju padaku yang baru saja masuk ke dalam rumah utama, dengan hanya berpakaian kaos oblong dan bercelana pendek. Karena salah tingkah, aku hanya garuk-garuk kepala sembari tetap melangkah masuk, dengan menebalkan wajahku biar menyamarkan rasa maluku saat ini.

Anjir! Rasa-rasanya aku seakan sedang menghadapi sidang eksekusi mati kalo kayak gini. Semuanya, menatap ke arahku, tak terkecuali kedua mertuaku. Mati gue!

Apakah kedua mertuaku juga tahu apa yang terjadi sore tadi? Ahh, semoga saja tidak.

Aku pun berdiri tak jauh dari mereka. Satu persatu mulai ku tatap, di mulai dari kedua mertuaku, yang langsung bersuara, “Yuk Ar, makan malam bareng aja”

Aku mengangguk, “iya pah”

Aku mengalihkan ke istriku yang lantas melotot.

Setelah itu, bergeser ke samping, ke Rafiq dan bang Anton yang langsung tampak geleng-geleng kepala dan sesekali saling berbisik. Modyar! Rupanya kedua lelaki itu sudah tahu, mungkin para wanita tadi sudah bercerita pada mereka.

Beres melihat ke mereka berdua, kini pandanganku berpindah ke Kak Nira. Meski umurku selisih dua bulan dengannya, dan aku lebih tua, tapi aku tetap memanggilnya kak biar menghormati. Wanita yang masih lengkap dengan khimarnya itu, hanya sesaat membalas menatapku, kemudian ia menundukkan kepalanya. Wanita inilah satu-satunya sumber masalah saat ini.

Dan barulah setelah aku bersitatap dengan Azizah, yang bunting akibat perbuatanku, yang juga hanya mengenakan hijab tanpa khimar seperti Nira, ekspresinya seakan menahan senyum yang sebentar lagi bakal ia ledakkan, aku pun kemudian melangkah yang sebenarnya tujuannya untuk mengambil posisi duduk di dekat para pakbapak.

Namun, langkahku terhenti saat si bontot itu nyeletuk, “Pah. Bebek papah di kandang belakang udah siap kan? Tuh kak Ar katanya lagi pengen ngehamilin salah satu bebek. Hahahahahaha”

Dan detik itu juga, semua pun pecah tertawa, bahkan sampai ngakak.

“Huahahahahahahah….”

“Ar. Kamu itu kalo lagi pengen jangan bebek papah yang jadi sasaraan” mertuaku ikut membully. “awas kamu. Papah gak mau punya cucu dari bebek loh hahahahah”

“Hahahaha, Ar… Ar. Kok bisa sih pake acara ngirim foto bugil segala.” itu bang Anton. “Kan bini ane jadi liat jeroanmu juga. Huauahahahahahahah”

“Hahahahah, bang bang. Dasar ceroboh” itu Rafiq.

Bangke!

Sekop mana, woi? Aku lagi pengen gali lubang besar buat sembunyi saja.

Malu banget. Sumpah!

Aku lantas melirik ke istriku, wajahnya benar-benar merah. Dia sampai menunduk menahan malu karena ulah suaminya ini.

Aku sendiri? Hanya garuk-garuk kepala dan kemudian melanjutkan langkah buat gabung ama mereka, menikmati makan malam bersama dengan derita yang masih saja di bully di sela makan malam kami.

Beberapa kali istriku manyun-manyun saat bersitatap denganku. Sesekali juga tangannya yang terkepal mengarah padaku. Untung saja duduknya tak mampu menjangkau posisiku yang kebetulan memang berada di depannya. Jadi kalo mau menghajarku, atau setidak nya mencubitku, tangannya harus melewati meja besar yang memisahkan antara pria dan wanita.

“Punya bini cantiknya masya Allah, kok malah nyari bebek sih bang” itu Rafiq masih saja membully.

“Hehe, maklum bro, lagi negang sejak maren-maren” balasku bergumam. Ini juga karena bini lo tong, gegara bini lo kagak nyelesaiin isepannya tadi. Bangkeeee…. untung saja kalimat selanjutnya itu, tak ku katakan secara langsung. Hanya membatin.

“Halah alesan aja” istriku nyeletuk.

Di tengah eforia pembullyan ini, hanya dua orang yang seakan cuek dan tak menikmati tawa riang penuh kengakakan ini. Yaitu Intan putriku yang di suapi neneknya, yang dimana neneknya juga sesekali tertawa, serta, Nira, yang seolah-olah menjaga diri dan sikapnya, serta sesekali menunduk saat ku arahkan pandanganku kepadanya.

Ahhhh…

Tidak mungkin, amat sangat tidak mungkin, bahkan amat sangat mustahil, akhwat bercadar – kakak iparku itu tengah memikirkan si kodir borokokok.

Bagaimana jika ‘iya’, bro Ardan?

Bangkeeee…..

Imaginasi sialan….

Monolog bedebahhhh tak ada akhlak.

-BERSAMBUNG-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *