Anjir….
Apa yang kini terjadi, di remang cahaya dengan kondisi jantungku yang bergerumuh di dalam sana, pikiranku mulai di kuasai oleh jin mesum super jahannam yang menggoda agar segera ku langkahkan kaki ini buat mendekat ke sosok wanita yang tengah mengangkang dengan kondisi kedua telapak tangannya sedang menghalangi pandangan sepasang mataku tepat ke liang peranakannya itu, yang tentu saja belum pernah di lalui satu bayi pun di sana.
Belum juga ku tarik hembuskan nafas ini, jenak berikutnya, Nira yang menyadari kemana arah tatapanku saat ini, langsung dengan cepat menyambar ponselnya dan menutupnya.
“Nir?”
Dia menatap mataku. Kemudian kepalanya terangguk perlahan. “Ar… bi… bisa ke… kluar d… dulu?” pintanya.
“I… iya bisa Nir” balasku. Aku pun menarik nafas dalam-dalam, kemudian melangkah meninggalkan kakak iparku di ruang tamunya. Setelah menutup pintu rapat-rapat, barulah aku bisa menarik hembuskan nafasku kembali, meski masih belum secara normal.
Gila….
Ada sesal yang teramat sangat di saat aku telah berada di luar. Menyesal, karena……..
Wanjir. Kenapa aku malah langsung keluar sebelum mendapatkan apa yang memang ingin ku lihat sejak tadi. Tepok jidat!
Mau tak mau. Aku pun kembali ke rumahku. Dan hanya berdiam diri di ruang tamu, sembari di kelubuti oleh berbagai pikiran yang benar-benar tak baik di dalamnya. Bahkan, untuk menyetubuhi istriku malam ini urung ku lakukan, saking parahnya kuasa pikiran mesum di dalam sana.
Apa yang akan terjadi nanti, maka terjadilah. Aku tak ingin terlalu memikirkannya. Toh, ini juga bukan salahku sepenuhnya. Meski tadi, memang saat aku masuk tiba-tiba ke rumah Nira, adalah bentuk kesengajaanku semata, berharap bisa ku bantu ia dalam menuntaskan birahinya. Namun kenyataan lain malah terjadi di depan mataku, jika Nira baru saja masturbasi dengan memakai foto penisku. Itu artinya dia terobsesi denganku?
Ahhhh! Pusing, pusing dah lo, Ar.
===========================
Rupanya pasca kejadian bersama Nira semalam, aku malah langsung ketiduran di sofa. Dan sekali lagi, urung ku keluarkan spermaku di dalam sana bersama istri. Aku berharap sperma sialan itu, tidak membeku menjadi keju. Lebih parah lagi kalo malah jadi kristal. Hahaha!
Pagi pun tiba….
Aku merasakan gemuruh di dadaku semakin menjadi-jadi. Itu artinya, aku harus bertemu dengan Nira lagi. Hal itu tak mungkin ku elakkan, atau merencakan hal yang sama pada kejadian salah sasaran bersama Azizah kala itu di rumahku yang di surabaya. Dengan memutuskan untuk keluar kota karena ketidak sanggupanku untuk bersitatap lagi dengan adik iparku. Karena sekarang aku tak memiliki alasan lagi untuk keluar rumah.
Apalagi ini masih suasana lebaran. Dan hari ini, sepertinya keluarga istri masih harus menerima tamu baik dari keluarganya maupun dari teman dan sahabat. Istriku apalagi, dia masih saja tidak memberikanku signal untuk ku garap tiba-tiba dirinya.
Aku malah semakin tak berselera. Aku juga malah menginginkan untuk pulang secepatnya ke Surabaya. Biar bisa menghindar dari Nira.
Tapi meminta ke istri untuk pulang lebih cepat, dan apalagi tiket pulang kami tentu saja harus menanggung biayanya secara pribadi, bakal menabur genderang perang jadinya nanti. Kan, tiket kepulanganku bersama keluarga sudah di tangan, sudah di belikan pihak perusahaan juga, yang sialnya, masih tersisa 4 hari lagi keberadaanku bersama keluargaku di sini. Di rumah mertuaku. Ingin memutuskan mengajak istri dan putriku menginap di hotel, sepertinya hanya akan menjadi sia-sia belaka. Pastinya istriku tak akan mengizinkan.
Alhasil. Seharian ini, aku pun di buat uring-uringan tak bersemangat.
Selama seharian ini juga tentu saja, aku berusaha menghindar untuk bertemu muka dengan Nira. Meski, hal itu tentu saja tak dapat ku elakkan. Beberapa kali kami bertemu, berpapasan, ataupun hanya sekedar saling bersitatap saat lagi berkumpul dengan yang lain.
Tatapan kakak iparku yang berkhimar itu, tentulah sudah berbeda saat ini. Aku sulit untuk menebak apa makna dari tatapannya yang memang tak sering terjadi, karena ia kebanyakan menunduknya saat ku balas menatapnya.
Sungguh, aku juga merasa bersalah dengan bang Anton. Suami kak Nira. Meski beberapa kali aku mengobrol dengannya baik itu di teras rumah utama, atau saat kami lagi menikmati makan bersama, tapi, aku seakan tak berani untuk menatap abang iparku ini berlama-lama.
Menyesal juga sudah terlambat.
Mau mengajak kak Nira untuk berbicara baik-baik, membicarakan kejadian semalam itu, pun hal itu tak mungkin terjadi. Karena aku yakin, saat aku mengajaknya berbicara, ia langsung menghindar. Karena, seorang akhwat yang menutup dirinya seperti Nira ini, rasa malu tentu saja jauh lebih besar, apalagi rahasianya yang tersimpan dan terjaga dengan baik selama ini akhirnya bobol juga di hadapanku. Dan di tambah lagi sesuatu yang tak pantas ia lakukan, dengan membayangkan penis lelaki lain, yang juga ia jadikan sebagai sarana untuk masturbasinya, semakin membuat rasa malu dalam diri kakak iparku ini semakin menyiksanya.
Aku tak yakin, hubunganku dengannya akan baik-baik saja setelah ini.
Aku juga tak yakin, aku akan bisa mengobrol dan bercanda lagi dengannya seperti sebelum-sebelumnya.
Jadi….
Kalian paham kan bagaimana situasinya sekarang?
So! Karena aku juga tak berminat untuk menceritakan aktivitasku seharian ini, maka kan ku skip saja sampai pada kejadian di saat mulai memasuki waktu sholat Isya.
…
…
…
Aku kembali tertidur rupanya sehabis sholat magrib. Apalagi yang bisa ku lakukan, selain tiduran di sini? Seharian ini, ada 3 kali aku tertidur. Toh, tak ada larangan juga dari istri dan keluarganya, serta tak ada juga kegiatan yang berarti selama di sini. Karena rencana untuk jalan-jalan nanti dua hari lagi, atau dua hari sebelum hari kepulangan kami kembali ke Surabaya. Itu artinya, waktu untuk bermalas-malasan saja bagiku sekarang bahkan sampai besok.
Tapi yang membete’kan banget adalah, saat aku tidur tadi, aku bermimpi sedang menyetubuhi istriku. Itu sebabnya juga saat aku terjaga yang tengah tertidur di sofa rumahku di depan, penisku dalam kondisi on fire kembali. Lagi dan lagi. Aku kembali di siksa oleh birahi yang tak bertepi ini.
Aku memutuskan untuk segera ke kamar mandi, sekalian buat mandi sajalah. Kebetulan kamar mandi di rumahku ini, tidak berada di dalam kamar. Dan hanya satu saja kamar mandinya, karena aku belum sempat untuk merenovasi menjadi lebih bagus dan lebih besar lagi. Maka dari itu, aku hanya mengambil handuk dari jemuran di teras depan, kemudian bergegas untuk ke kamar mandi tanpa mencari dimana keberadaan istri dan putriku.
Namanya juga pakbapak. Kalo mandi itu tak membutuhkan waktu lama. Aku pun telah menyelesaikan rutual mandi, kemudian hanya dengan mengenakan handuk melilit tubuhku bagian bawah, akhirnya aku keluar untuk berpakaian. Karena semua pakaianku hanya ku tinggal di ember kamar mandi, karena nanti biar istriku yang menanganinya saja. Mau di cuci atau di bawah pulang ke Surabaya dalam kondisi seperti itu, bukan urusanku lagi. Toh, aku memang sengaja membawa lumayan banyak pakaian ganti, jadi aku tak perlu khawatir lagi jika akan kekurangan pakaian.
Aku melangkah menuju ke kamar. Yang juga kebetulan hanya satu kamar saja yang ada di setiap rumah ini. Memang ada beberapa bagian ruangan yang bisa kami jadikan kamar lain, tapi seperti yang ku jelaskan, aku masih belum ada rencana untuk merenovasi rumah pemberian mertuaku ini. Biarkan saja seperti ini.
Pintu kamar ku buka…..
Lah tumben, lampu tidur yang malah di nyalakan istriku, bukannya lampu utama. Padahal belum waktunya buat bobo cantik sekarang. Makanya suasana kamarku agak temeram. Ah sudahlah, bukan itu yang menjadi perhatianku saat ini.
Yang menjadi perhatianku, serta menjadikan tatapanku langsung berbinar terang di saat mendapati istriku sedang duduk di atas sajadah, menghadap ke pintu masuk, tapi agak menyerong sedikit, duduk di antara dua sujud ke arah kiblat. Mengenakan mukenah putihnya yang amat sangat ku kenali itu, karena kebetulan juga akulah yang membelikannya.
Mungkin dia menyadari kehadiran suami tercintanya ini. Karena dalam posisi sholatnya itu, sedikit ada gerakan kecil di bagian…. hmm, kenapa Azita malah langsung menarik mukena bagian bawahnya hingga menutupi sebagian wajahnya di bagian bawah. Jadi kejadian ini super cepat ya. Bahkan aku sendiri malah belum berkedip sama sekali. Alhasil, lubang lingkaran di mukenahnya itu yang seharusnya untuk full face, tapi sekarang, malah lingkaran itu hanya menunjukkan di sebagian matanya saja.
Wahhh….
Agak sedikit ku kernyitkan keningku, sepertinya istriku sudah mulai mengarah ‘ikut-ikutan’ mengenakan cadar, seperti kedua saudarinya itu, kah? Hahahaha!
Tapi baguslah. Setidaknya, ada perubahan yang terjadi dari hasil liburan kami ke Bandung kali ini.
Tepat sebelum niat mesumku menguasai, tatapanku tertuju ke atas ranjang. Di atasnya, rupanya pakaian istriku sedang terlipat dengan rapi di sana. Baju, rok, bra dan celana dalam yang disembunyikan dalam lipatan jilbabnya tapi masih kelihatan sedikit, membuatku spontan menegang.
Hmm, mungkin Azita membeli pakaian baru tanpa sepengatahuanku. Makanya warna dan kesemuanya itu agak asing ku lihat. Toh! Bukan juga kewajiban bagiku mengetahui seluruh pakaian istri, bukan?
Tapi yang menjadi fokusku sekarang….
Tidak biasanya istriku menelanjangkan diri di saat sholat seperti ini?
Artinya, istriku kondisinya saat ini, sedang tidak mengenakan apapun di balik mukenanya. Dadaku penuh gemuruh. Akhirnya kesampaian juga untuk menyetubuhimu sayang. Begitu aku membatin. Karena tak mungkin juga bukan, melakukan hal yang tak biasa ia lakukan, seperti menelanjangkan dirinya, kalo tak ada maksud apa-apa? Itu tandanya, signal buatku untuk sesegera mungkin melaksanakan kewajibanku sebagai suami. Hohoho!
Terima kasih sayang, engkau kali ini mengerti keinginan suamimu.
“Assalamualaikum….” istriku lantas menyelesaikan sholat 4 raka’atnya dengan mengucapkan salam serta kepalanya menoleh ke kanan lalu ke kiri.
Inilah saatnya. Pikirku.
Dengan sengaja aku pun melepaskan handukku dan melemparnya begitu saja ke sisi ranjang.
Jreng! Jreng!
Akhirnya….. si kodir borokokok terbebas dari kurungan, dan kembali dalam posisi on fire. Tegangannya maksimal banget bro.
Yah tentu saja, aku tak akan menyerang istriku sekarang, karena setelah mengucap salam, ia akan melanjutkan untuk berdzikir lalu berdoa. Yang ku lakukan adalah, hanya berkeliaran di dalam kamar ini dalam kondisi telanjang.
Hahahha! Gak masalah kan? Wong dia adalah istriku. Dan biasa juga kok kayak gini kami lakukan. Kadang saat aku sholat, istriku malah bertelanjang di dekatku, begitu sebaliknya. Jadi bukan hal aneh lagi buat kami berdua.
Aku sengaja hanya berdiri di dekat meja nakas, sambil membuka HP, dan membiarkan penisku terbuka dengan bebasnya, mengacung dengan gagah, tanpa ada niatan untuk berpakaian. Posisi berdiriku tentu saja di samping pintu kamar, karena kebetulan letak meja nakas itu di samping ranjang juga. Itu artinya, benar-benar berada di jangkauan kedua mata istriku, meski istriku masih fokus melaksanakan doanya, tapi saat matanya terbuka, pasti bisa melihat dengan jelas keusilan suaminya ini.
Yang anehnya, istriku malah menunduk.
Aishhh. Rupanya dia gak mau di ganggu. Hahay!
Aku pun melepaskan ponselku, dan berjalan mendekatinya.
Aku bersiap pada posisi di belakangnya, dengan sekali lagi, dengan masih dalam keadaan telanjang bulat, lat, lat dan amat sangat siap buat melesakkan penis ku yang menegang ini di dalam liang vagina istriku.
Aku menunggu dan menunggu….
Hingga saat kedua tangannya menyapu wajahnya, tanda ia baru saja menyelesaikan doanya, dengan sigap aku pun langsung memeluk tubuh istriku dengan penuh gairah.
“Eh…. ahhhh” istriku langsung mengeluarkan desahan di saat tanganku dari belakangnya, langsung menyentuh payudaranya. Keduanya langsung ku jangkau dengan dua tanganku ini. Meski masih terhalang dengan mukenah, tapi kain mukenahnya amat sangatlah tipis. Dan, genggaman kedua tanganku secara nyata dan nikmat seakan secara langsung menyentuhnya. Bahkan aku langsung memelintir puting payudara istriku saking ingin ku ledakkan saat ini birahiku bersamanya.
“Ikhhhhhh” desah istriku semakin menjadi, tapi terbungkam dengan tangannya yang menutupnya sendiri.
“Bun… kali ini gak boleh nolak. Dosaaaa…. ayah ingin ngewe sekarang. Ayah pengen entotin bunda sekarang juga…. ahhhh” bisikku saking besarnya desakan birahi dalam sana.
Aku sekali lagi meremas payudara istriku dengan gemas.
Sekali lagi juga, desahan istriku kembali terdengar yang masih teredam dengan telapak tangannya.
“Duuuhhh bun…. tetekmu kok makin padet dan kenyal gini. Ohhh ayah gak tahan lagi. Ayah gak tahan lagi” aku pun memaksa istriku untuk rebahan. Dan, dengan sigap, ku lepaskan payudaranya, dan tangan kananku pun meraih tangannya untuk segera menggenggam penisku yang sedang berdiri keras.
Awalnya istriku agak mengeraskan tangannya, tapi tentu saja aku tak habis akal. Aku memaksa, dan kini, akhirnya tangan istriku berhasil ku sentuhkan ke penisku. Aku lantas berbisik. “Di genggam sayang. Rasakan kekerasan dan otot-otot kontolnya suamimu ini. Sudah lama ayah gak rasain kocokannya bunda. Ohhhh” dan detik berikutnya, tangan istriku berhasil ku buat menggenggam penisku, dan juga secara spontan ku rasakan tubuhku langsung menegang. Amat sangat menegang, rasa-rasanya tubuhku seperti baru saja di aliri aliran listrik.
Namun…..
Sial….
Tiba-tiba saja, aku mendengar suara dari luar memanggil namaku.
“Bang Ar…. bang Ar.”
Ahhh sial, biadaaaab. Bajiingan…. gak ada otak. Gak tau apa, orang lagi pengen berasyik masyuk ama bini malah di gangguin.
Btw. Itu suara si Rafiq.
“Ah gangguin orang aja.” gumamku.
“Yah kenapa bro?” teriakku dari kamar.
“Bang Ar lagi tidur? Kebetulan aku lagi pengen mintol nih”
“Sa… sana du…. dulu” istriku berbisik padaku. “te… temui Ra… Rafiq dulu”
Ahhhhh, aku pun menghela nafas. Tapi, anehnya, suara istriku kali ini agak berbeda ya? Ah! Mungkin saja karena sedang menahan birahi kali ya? Makanya kedengaran agak gimana gitu. Haha!
“Iya bentar. Ini mau keluar” dan pada akhirnya, ku ikhlaskan melepaskan istriku saat ini, dan segera menyambar kaos dan celana pendekku dari lemari, tanpa mengenakan CD lagi. Dengan amat sangat cepat pula, ku kenakannya ke tubuhku.
Sebelum keluar kamar, aku menyempatkan untuk meremas gemas payudara istriku, “Tunggu ayah yah sayang. Jangan kemana-mana.”
“Ahh” istriku sekali lagi hanya mendesah. Yang anehnya, ia seakan menyembunyikan wajahnya yang tertutup nyaris sepenuhnya itu dari jangkauan mataku.
Sekali lagi ah.
Aku pun meremasnya. Tapi kini remasanku di sertai rasa gemas yang meninggi. Uhhh, kenyal banget. Jadi gak tahan, sue.
Tapi….
Sedikit aja ah. Meski hanya dari balik mukenah aja, toh, ini kan bukan pelecehan. Sah secara agama dan negara, kawan. Karena berdasarkan itu, aku segera mendekatkan kepala, lebih tepatnya mulut ini buat menjangkau puting sebelah kanannya.
“Ahhhhhhh” desahan Azita malah jadi panjang di saat berhasil ku hisap putingnya meski hanya dari luar mukenah, tapi feelnya, rasanya nyaris tanpa penghalang.
“Tungguin ayah yah. Ayah akan kembali…. cuppp” ku akhiri bukan kecupan di kening, tapi sekali lagi di putingnya tapi di bagian kirinya biar imbang, biar kedua benda bulat itu tak saling iri satu sama lainnya. Haha!
Ya sudahlah.
Aku harus sesegera mungkin menyelesaikan urusanku dengan Rafiq, baru akan ku lanjutkan menggempur tubuh istriku tanpa ampun. Hoho.
Pintu kamar pun ku buka. Tapi langsung ku tutup takut Rafiq melihat istriku yang lagi menahan nafsu dan sedang duduk di atas sajadah.
“Yes bro. Ada apa?”
“Sorry bang. Boleh ngobrol gak?”
“Boleh…. di sini atau?”
“Di luar aja bang. Hehehe”
“Waduh. Di luar maksudnya di luar rumah atau?”
“Maksudku kita keluar gitu, nyari tempat buat ngobrol.”
“Ya sudahlah.” akhirnya, aku pun mengangguk dan mengiyakan keinginan Rafiq.
Tapi sebelum pergi, aku menyempatkan pamitan pada istriku di kamar, dengan hanya membuka pintu dan melongokkan kepalaku ke dalam. Istriku rupanya masih duduk bersila di atas sajadahnya.
“Tunggu ya sayang, bentar doank. Kebetulan Rafiq pengen ngobrol sesuatu ama ayah”
Istriku hanya menggerakkan kepala tertunduknya itu seperti mengangguk.
“Jadi kemana kita bro?” tanyaku saat kami berdua sudah keluar dari rumah.
“Cari cafe aja bang, di depan banyak kok”
“Okelah.”
…
…
…
…
“Loh ayah… ini pada mau kemana? Eh iya, kak Nira udah kelar sholat Isyanya di kamar atau belum?”
DEGH!!!
Ii….. itu istriku yang baru saja bersuara dari arah pintu rumah utama.
Lalu, yang tadi ku kira istriku di kamar, siapaaaaaa??????????
ANJIRRRRR! SALAH SASARAN LAGI.
Terkutuklah wahai nafsu birahi yang sekali lagi telah membuatku nekad melakukan sebuah kesalahan untuk kali kedua bersama saudari istriku yang lain.
Bangkeeee… anjir.
Fuuuuck… fuuuccck!
Ardan bodoh. Lo emang boodoh dan toolol, Ar!
Aku bahkan sampai memaki diriku kerena kecerobohanku yang main nyerang tanpa sadar lebih dulu jika yang sholat tadi di kamarku bukanlah istriku, melainkan Nira?
What the Coeggg!
What a supprise, for me yang borokokok ini? Selama dua hari di sini, udah lebih dari satu kejadian yang bahkan aku sendiri sama sekali tak pernah membayangkannya.
Baiklah, mengenai kejadian bersama Azizah meski tak ku rencanakan, tapi aku juga sudah bisa menebak, akan adanya epsisode selanjutnya mengenai hubunganku dengannya, karena memang, kami berdua sudah benar-benar melakukan peselingkuhan terlarang hingga hasilnya ia bisa bunting sekarang.
Tapi yang ini, si Nira, jangankan mikir, bermimpi pun sama sekali takut aku lakukan, bro. Karena selain sosoknya yang super tertutup, santun, tapi layak baginya kami semua menghormatinya sebagai kakak tertua di keluarga ini. Salah satunya juga, karena lakinya yang perwira TNi, bisa semakin membuatku merinding disko.
Apa yang terjadi nantinya, di saat Nira malah melaporkan pada suaminya, bang Anton, kalo ia baru saja ku lecehkan di kamarku?
Waduh. Aku tak mampu membayangkan berhadapan dengan pasutri tertua di keluarga ini, setelah ini, setelah aku membereskan urusan dengan Rafiq.
Tapi, aku juga harus berterima kasih pada Rafiq dalam hati. Karena telah menjadi penghalang bagiku untuk berbuat lebih di kamar tadi. Coba bayangkan, apabila Rafiq tak memanggilku, tak mengajakku untuk keluar, bisa jadi, aku bakal keterusan, bakal menelanjangi kakak iparku ini.
Eh wait….
Tunggu dulu bro!
Tiba-tiba saja, pikiranku di landa sebuah rasa penasaran yang lumayan berlebih saat ini. Pertanyaannya cuma satu, kenapa sejak pertama aku menanggalkan handuk, menunjukkan tubuh bugilku pada kakak Iparku, dia malah gak protes? Lalu, di lanjutkan dengan aksi nekadku karena masih mengira dia adalah istriku, tapi sekali lagi dia hanya diam saja? Malah, yang ku sadari saat mencoba mengingat setiap detail yang terjadi – justru kakak Iparku seolah-olah menunjukkan geliat dan desah dirinya yang ikut menikmati?
What the?
Apakah kakak iparku menikmati semua sentuhan yang ku berikan pada tubuhnya itu? Errrrr! Gak… itu gak mungkin terjadi.
Loh, bukannya, foto si otong yang di jadiin sarana buat ngebacol baca ; masturb, Ar? Sebuah seruan monolog dalam diri ini seolah-olah mengingatkanku kembali pada kejadian semalam.
Iya juga yah?
Ahhhh tapi please. Wahai pikiran mesumku, jangan engkau goda lagi, ku mohon. Biar aku tidak lagi terpengaruh dan termakan oleh godaan lo, hingga membuat ku nekad menghadirkan sebuah rencana untuk menaklukkan kakak iparku juga. Aku gak mau, sumpah, gak pengen sampai terjadi seperti itu. Bisa di bayangkan, bakal seperti apa nantinya, jika kedua saudari istriku itu sama-sama melahirkan anak dari ku? Hadehhh! Memikirkan semua itu, membuat otakku kembali pening.
…
…
…
“Bang, kok malah diem bae sejak tadi?” satu pertanyaan dari Rafiq yang kini tengah ngopi bersamaku di salah satu cafe yang berada tak jauh dari tempat kami tinggal, membuyarkan lamunanku atas apa yang telah terjadi terhadapku bersama dua saudari istriku. Termasuk istri dia tuh, si Azizah. Tepok Jidat!
Aku intinya, memang seharusnya mengikuti keinginan Rafiq untuk keluar dari rumah, biar aku bisa menenangkan diri sejenak, dari kepenatan serta rasa pusing atas apa yang terjadi.
“Oh iya sorry…. hehe, gak melamun sih cuma lagi agak kurang enak body aja bro. Gimana…. gimana?” balasku pada Rafiq.
“Gini bang. Maaf jika lancang ya bang”
Wait….
Aku lantas berfikir apa yang akan di sampaikan olehnya? Apa ia tahu apa yang telah terjadi antara aku dan istrinya? Tapi, ketika melihat ekspresi sungkan dan agak-agak keragu-raguannya untuk mengatakan apa yang sebenarnya padaku, merubah kesimpulan pemikiranku detik selanjutnya. Apa sebetulnya yang ingin di katakan olehnya?
Aku lantas memberinya senyum, sembari menenangkannya terlebih dahulu dengan berucap, “Udah santai aja, kayak saya orang lain aja sih. Kita ini udah sodaraan bro. Gimana-gimana?” Bahkan gue udah ngehamilin bini lo, tong. Ups!
“Hmm gini bang, kan kebetulan istri udah hamil nih bang.” Jiah, kok bisa samaan ya? Hahaha. Seolah-olah kata hati di dalam sana dapet balesan dari si Rafiq.
“Hmm oke?” aku bergumam, karena Rafiq mengambil jeda sesaat sebelum ia melanjutkan.
“Tapi, aku pengen banget beli mobil karena buat ngantar bini kesana kemari sekalian anterin pas lagi periksa kehamilan. Intinya, kalo masih ngandelin ojek onlilne takutnya pas dia kenapa-kenapa kami malah lambat ke rumah sakit karena lambat ojeknya datang. Intinya kami agak susah untuk mobilitas kalo belum ada sama sekali kendaraan di sini.”
“Ohhh ok, terus apa yang bisa saya bantu buat kalian?” yah! Kalo dia menyuruhku membeli mobil, pastinya aku tak akan mampu buat membeli cash. Toh, dana di rekening tabunganku bersama istri tak sampai bisa membeli seunit mobil dengan cara cash, kecuali mobilnya yang second dan keluaran tahun lama, serta jenisnya yang biasa-biasa saja. Itupun tak mungkin juga aku lakukan, berarti langsung ludes dah duit di tabungan. Tapi, tentu saja kami juga bukan orang yang kesusahan uang.
Apalagi anak yang di kandung Azizah, kan anakku juga. Jadi, jika saja aku tak bisa membantu membelikan mereka mobil, pasti ada cara lain buat bisa membantu mencarikan jalan keluar.
Aku juga tentu saja tak mau, kalo Azizah yang mengandung anakku di rahimnya kenapa-kenapa nantinya. Andai saja, aku bisa mendampingi selama masa kehamilannya sampai ia melahirkan, mungkin akan jauh lebih baik. Tapi kan, hal itu mustahil terjadi.
Kembali ke Rafiq. Setelah mendengar ucapanku terakhir, dia menarik nafas sesaat. Kemudian melanjutkan berucap, “Jadi gini bang, kemarin tuh, ada teman yang kebetulan kerja di dealer Honda, dia nawarin buat ngambil mobil. Tapi kan….” tampak Rafiq sedikit malu-malu untuk melanjutkan.
“Kalian gak ada uang?” tembakku karena telah menganalisa apa yang sebenarnya yang menjadi kendala padanya saat ini.
Rafiq mengangguk, “Iya bang. Kebetulan Surat kepegawaian udah di sekolahin di Bank pas mau nikahin Azizah. Hehehe” tepok jidat.
Pantas aja, pernikahan mereka kala itu lumayan meriah. Jauh lebih meriah dan besar ketimbang pernikahanku kala itu. Ini toh rupanya, mereka malah mengangkat uang pinjaman dari Bank. Bukankah ini riba juga ya? Bukankah mereka berdua, memiliki pemahaman agama yang jauh lebih tinggi dariku? Ah! Sudahlah, bukan urusanku juga. Kalo memang tinggi keyakinannya, bukankah aku dan istrinya tak bakal mungkin berselingkuh? Jadi…. silahkan kalian menyimpulkan sendiri saja. Karena aku takut suudzon, bro.
“Jadi udah gak ada yang bisa kami pakai buat nyari dana untuk uang muka bang” oh, kirain mau beli cash. Ternyata ngangsur toh.
“Hmm, ok ok aku paham. Jadi kalian pengen pinjem ke abang buat DP mobil, bukan?”
Sekali lagi Rafiq mengangguk malu-malu.
Aku jadi tergelitik untuk menggodanya, “Bukankah kamu tidak pintar menyetir mobil?”
“Nah itu dia bang. Hehehehe, udah niat mau belajar sih, mau sekalian kursus setelah ini”
“Ohhh gitu” aku mangguk-mangguk sambil senyum. Kemudian ku seruput sesaat kopiku dari cangkir, serta membakar sebatang udud ku lagi buat menenangkan otak ini. Bukan menenangkan karena mendapatkan permintaan pinjaman dari kedua pasutri adik iparku ini, melainkan pemikiran mengenai kejadian bersama kakak iparku tadi.
Fiuhh! Lagi dan lagi, emang amat sangat sulit buat ku alihkan, ya!
“Nah, mengenai hal itu, jujur abang bisa membantu kalian. Tapi tentu saja abang harus ngobrol dulu sama Azita. Karena biar bagaimana dia yang memegang keuangan keluarga kami.”
“Su… sudah sih bang. Justru istri udah cerita tadi sama istri abang. Kebetulan aku juga di situ, menghadap berdua ke istri abang, tapi…. Kak Azita malah menyuruh untuk langsung ngomong ke abang katanya, karena ia takut memutuskan apalagi ia juga katanya takut ngomong langsung ke abang. Karena biar bagaimana abanglah yang bekerja. Abanglah yang menafkahi. Hehehehe!”
Ah, gitu toh. Andai lo ijinkan, gue juga mampu kok buat ‘nafkahin’ bini lo lagi, tong!
“Oalah jadi sekarang putusannya ada di abang nih? Hehehe, ya sudah. Oke lah kalo gitu, karena nyonya negara juga udah tahu dan bahkan saya yakin juga, dia gak bakal nolak untuk membantu kalian, secara bini kamu kan sodara kembarnya, jadi masih memiliki ikatan batin antara satu sama lain. Jadi, ya sudah. Akan saya bantu….”
“Waduh makasih banyak ya bang. Makasih banyak-banyak banget. Nanti kami janji, kami akan mengangsur tiap bulannya buat gantiin duit abang yang di pake buat bayar DP”
“Udahlah, kalo kalian ngangsur uang tersebut, malah kalian bakal kesendat-sendat buat bayar angsuran mobil kalian, itu artinya, bakal sia-sia juga kami membantu kalian kalo mobilnya malah di tarik leasing, kan?”
“Iya juga sih bang”
“Udah aja, kalo nanti udah kelebihan uang atau tiba-tiba dapat bonus, barulah kalian bisa membayar ke kami uang tersebut. Emangnya berapa yang mau kalian gunakan buat DP? Trus mobil apa yang rencana kalian ambil?”
“Hehehe, DP yang minim aja bang. Dan mobil yang kecil aja bang. Rencana kami ambilnya yang Brio biar kecil tapi mayan lah, gak kena hujan juga, dan bisa membantu mobilitas kami, serta mama dan papa selama di Bandung. Iya kan bang?”
“Iya juga sih, karena hanya kalian berdualah yang tinggal di sini, menjaga mama dan papa”
“Itu dia bang”
Dan yah, akhirnya aku pun sudah memutuskan untuk membantu mereka meminjamkan dana sebesar 15 juta buat mereka jadikan DP untuk membeli mobil baru secara kredit. Hanya segitu yang ia minta, dan kebetulan di tabunganku sendiri secara pribadi hasil dari umpetin dari bini selama ini, seharusnya lebih dari itu, tapi, memang ada baiknya tabungan keluarga saja yang ku ambil buat di berikan pada mereka berdua. Toh! Hal ini juga sudah dapat ijin dari istri.
-BERSAMBUNG-