Karena males buat bermonolog gak jelas kayak biasanya, maka mari kita lanjutkan, kawan….
“Yuk, berangkat” begitulah aku menyapa saat baru keluar dari rumah dengan berganti pakaian. Masih santai, masih berkaos oblong dan bercelana jeans, tapi hanya dengan sandal biar santai. Rupanya Nira beneran masih menungguku di depan.
“Iya……”
Kami berdua pun tak lupa berpamitan ke penghuni rumah yang masih tertinggal di sini. Papa mertua dan juga Rafiq suami Azizah yang rupanya baru saja bangun sama sepertiku.
Aku lebih dulu berjalan menuju ke mobil di ikuti Nira di belakangku. Entah mengapa ku lakukan ini, begitu Nira mendekat, ku buka pintu samping kiri depan, kemudian ku julurkan tangan kananku untuk menggapai tangannya, memintanya untuk duduk di sebelah pengemudi. Karena kalo tidak ku lakukan seperti ini, bisa saja ia malah duduk di jok tengah, itu artinya aku lagi-lagi tak ada bedanya dengan pak sopir.
Ahhh…. akhwat ini. Lebih tepatnya aku yang tak sengaja malah bukan menyentuh di lengan untuk menghentikannya berpindah ke belakang, malah yang ada…..
Telapak tangan kami menyatu, kawan.
Dalam situasi yang canggung ini, kami berpegangan.
Sialnya….
Tangan sialan ini malah enggan melepaskannya.
Belum selesai kekagetanku, tanganku yang masih bersentuhan, seakan seperti sedang bersalaman dengan tangannya, perlahan tertarik ke atas. Tentunya bukan atas tenagaku, melainkan karena Nira menarik tanganku, dan perlahan meletakkan di keningnya. Hingga tanpa sadar tenggorokanku tiba-tiba mengering dan aku seperti tersedak. Mau tidak mau akupun terbatuk. “Uhuukkkk…Uhukkk….” Suara batukku seolah mengingatkan Nira akan apa yang dia lakukan.
Dengan cepat dia melepaskan tanganku dan menunduk dengan kikuk. Gerakan Nira menunjukkan kalau dia pun tidak sengaja menyambut tanganku dan reflex menciumnya di keningnya.
Akupun demikian sama kagetnya. Segera ku tarik tanganku. Dan membiarkan situasi canggung menyelimuti kami berdua. Baik aku maupun Nira tidak tahu harus bagaimana mengambil sikap setelahnya. Yang aku tahu hanyalah jantungku seakan ingin meledak rasanya. Terlalu indah situasi canggung ini untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Tak ingin larut lebih lama lagi, akhirnya aku sudah bisa menguasai diri dan hatiku.
“Ehm…. Yuk kak…. naik di depan sini aja, biar ada teman mengobrol” ujarku membunuh sepi yang terjadi beberapa jenak lamanya.
“Ehh…. I.. Iya….”
Nira segera masuk ke mobil.
Aku pun langsung melangkah ke jok di balik kemudi.
Sejurus kemudian, mobil pun mulai melaju perlahan, tetapi entah mengapa sepertinya hatiku masih tertinggal di depan pagar rumah di belakang sana, yaitu ketika ia menciumi tanganku.
Karena baru kali ini, kakak iparku mencium tanganku. Karena biasanya akulah yang melakukannya – tapi itupun dulu, di saat ia masih belum bercadar. Tapi setelah ia bercadar, bahkan kemarin pas acara salam-salaman maaf memaafkan di awal pertemuan kami, Nira hanya mengatupkan dua telapak tangannya di depan dada.
Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda. Sepertinya aku sangat berbunga-bunga dengan peristiwa itu, atau lebih tepatnya bergairah. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. mungkin saja sama denganku, atau mungkin lebih dariku, atau mungkin saja tidak ada apa-apa.
Suara mobil dan beberapa kendaraan yang menyalip kami secara samar masuk ke dalam kabin mobil, tidak mampu mengusir sepinya suasana di dalamnya. Entah berapa lama kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian aku memilih untuk membuka obrolan.
“Tidur jam berapa, semalam, kak?” tanyaku.
“Ohh…. Ehh…. Iya, Ar… a… ada apa?” Nira tiba-tiba gelagapan karena pertanyaanku barusan.
“Nggak apa-apa Kak… cuman mau nanya semalam tidurnya jam berapa”
“Kok kakak lagi sih Ar. Lagian apa kamu gak sadar, kamu itu lebih tua dariku loh”
“Oh…. Maaf kak, ehh… Nir”
Nira menatapku dari samping. Aku juga sempat membalas tatapannya, tapi hanya sejenak saja, kemudian ku kembalikan pandanganku ke depan, menatap jalan, fokus menyetir.
“Sekitar jam dua, Ar. Gara-gara kamu aku jadi gak bisa tidur”
“Loh kok gara-gara saya, Nir?”
“Lah emang gara-gara kamu kok. Gara-gara kamu cerita ini itu, aku malah jadi ikutan terangsang hingga susah tidur”
DEGH!
Nyaris saja jantungku copot saat mendengar kalimat Nira barusan yang amat sangat mengagetkanku. Seorang akhwat yang aku tahu persis gerakan tempatnya bergabung, mengucapkan kalimat yang terkesan sensual dengan santai di depan seorang lelaki yang bukan mahramnya, secara ringan sekali meluncur dari mulutnya, serta suaranya yang lembut tanpa terkesan menahan atau menyembunyikan sesuatu, tulus terdengar. Benar-benar aku malah belum siap akan mendengarnya saat ini.
“Maaf Nir. Gara-gara saya kamu kayak gitu.” ujarku, menunjukkan ketulusanku untuk memohon maaf padanya. Padahal mah, di dalam sana sudah bergelora, kawan!
“Iya…. kamu emang jahat”
“Andai saja tak ada dinding yang memisah semalam, hmm….”
“Emang kenapa kalau gak ada dinding rumah di antara kita?” tanyanya. Apakah ini sekedar pancingan?
“Yaa…. minimal bisa ngebantuin kamu buat ngilangin keterangsanmu…. Aduhhh Nir…. sakit” Ucapanku terpotong oleh cubitan Nira yang secara tiba-tiba di lenganku yang lagi nyander di arm rest. Gila! Sudah mulai berani dia, meski baru sebatas cubit-cubitan.
“Dasarrrr….. Messummmm”
Lalu entah mengapa kami berdua tiba-tiba tertawa bersama.
“Kamu inih…. masa sih, bisa-bisanya ngomong gitu di depan aku, Ar….. Fitnah tau, Ar”
“Lha…. kamu yang terangsang kok malah nyalahin saya?”
“Yee…. Kan, karenamu…. karena kamu yang duluan mancing. Udah ah, males ngomong sama kamu….” Lalu sejurus kemudian kami berdua terdiam menikmati alur waktu dalam setiap jejak perjalanan kami menuju ke….
Entahlah kemana ku arahkan mobil ini sekarang. Wong sejak tadi Nira juga belum ngasih tahu dimana alamat rumah temannya yang akan ia datangi itu.
Dan satu lagi, entah mengapa juga aku hampir saja tidak percaya kalau ternyata kami bisa sedekat ini dalam waktu kurang dari 24 jam saja. Kalau sudah begini aku jadi serba salah. Orientasiku mendekati Nira menjadi bias dan membingungkan. Kedekatan ini begitu murni untuk dikotori dengan syahwat.
Ketika aku dan dia saling bercanda lepas tanpa beban, kelihatannya urusan kelamin menjadi nomor sekian. Jujur, aku menjadi dilema. Aku tidak ingin mengotori kedekatan kami ini dengan urusan kelamin, tapi aku juga sangat terobsesi untuk memuaskannya. Dan dari kata-katanya yang tersirat, sepertinya ladangnya saat ini sudah mengering, atau mungkin di basahi tapi tidak sampai tuntas? Hanya hipotesa awalku saja sih. Tapi, meski begitu, ada keiniginan besar dalam sana, yang dengan sungguh-sungguh ingin menyirami ladang itu agar tanahnya gembur kembali setelah ditimpa kemarau kepanjangan. Tapi aku takut jika sang pemilik ladang tak rela ladangnya disirami dengan air yang bukan miliknya.
Aku lantas punya ide….
“Tapi… saya juga salah kok. Saya akui itu. Karena gara-gara foto yang saya kirim ke istri, eh malah itu jadi penyebab kamu terangsang juga.”
Degh!
Nira langsung menunduk.
“Eh maaf… maaf, hanya bercanda kok”
Nira menarik nafas dalam-dalam. “Maaf ya Ar. Maafkan kekhilafanku”
“Andai kamu mintanya baik-baik, tak perlu foto, aslinya juga bakal saya kasih kok, Nir” sembari berucap, sembari ku lemparkan senyumku, seakan-akan menyiratkan aku sedang bercanda. Padahal aslinya mah, beneran. Aku serius, aku mengatakan ini biar ia terpancing.
Sebuah cubitan lantas tiba-tiba mendarat kembali di lenganku. Sakit, tapi bukan itu yang menyebabkanku mengaduh. Aku mengaduh lebih karena aku suka seandainya aku dicubit lagi.
“Kamu ini ih, kok malah bahas itu lagi sih?”
“Habisnya, gak ada bahasan lain. Hehehehe” Aku sangat berharap Nira mencubitku lagi.
Aku suka cubitan yang manja itu. Hhmmm… sepertinya memang harus ku pancing lagi. Sungguh hari ini entah mengapa aku merasa kembali kasmaran. Ah, sungguh aku bingung dengan perasaanku.
Sayang kah? Syahwat kah?
“Eh iya…. dari kemarin itu saya di buat nyaris mati penasaran, Nir”
“Penasaran tentang?”
“Maaf nih, sekalian aja basah yah. Gak apa-apa kan? Hehehehe”
“Tuh pasti bakal menjurus ke sana lagi”
“Emang….” balasku singkat.
Kami lantas terdiam sesaat.
Tak habis akal, dan tak ada niatan mundur, aku menyerangnya lagi. “Saya mohon, ijinkan saya mengeluarkan semua apa yang terpendam dalam hati sejak kemarin, karena jika tak saya keluarkan bisa jadi duri di dalam sana yang bakal mengarat selamanya, dan itu, adalah sebuah penyakit yang bakal menyiksa saya nantinya”
Nira kembali menatapku.
Aku membalasnya.
“Ku mohon”
Akhirnya Nira mengangguk.
“Hmm, jadi gini, sejak kemarin itu saya berharap mendapatkan jawaban sedikit saja darimu, mengenai kejadian di kamar malam itu” Nira tiba-tiba menunduk. Mungkin ia malu saat barusan ku tatap kembali ia dari samping.
“Boleh ya, saya melanjutkan pertanyaan saya?”
“Bo… boleh Ar” gumamnya. Ia gugup bro.
“Jadi gini, yang menyiksa saya itu, adalah pertanyaan kenapa waktu kali pertama saya sengaja bertelanjang di dekatmu, karena sepengetahuan saya awalnya, saya mengira kamu itu Azita…. kamu tidak protes. Oke baiklah, saat itu kamu masih sholat, jadi pasti kamu bakal nyelesaiin sholatmu dulu baru kamu akan teriak, atau setidaknya kamu bakal menegurku untuk mengenakan kembali handuk atau segera berpakaian, atau mungkin kamu bakal langsung berdiri dan keluar dari kamar.” ku ambil waktu sejenak buat mengambil nafas. Lalu ku lanjutkan kembali.
“Atau yang lebih parah, kamu malah menggamparku. Tapi nyatanya, kita sama-sama tahu apa yang terjadi selanjutnya, bukan? Saya mulai menyentuhmu. Saya menyentuh bagian yang tak seharusnya saya sentuh. Maaf, jika saya lancang. Saya sudah menyentuh tubuhmu, payudaramu secara nyata dan harfiah. Tapi sekali lagi, kamu tetap diam, bahkan yang saya tangkap…. maaf seribu maaf, ya Nir. Kamu seolah-olah menikmatinya. Jadi itulah mengapa saya masih menyimpan tanda tanya besar. Apakah bener kamu sama sepertiku, menikmati sekali setiap sentuhan yang ada, karena saya memang sudah mengakui, sedari awal jika saya menikmatinya. Ataukah ada alasan lain? Ku mohon kalo bisa kamu jawab yah, biar gak jadi penyakit yang terpendam di dalam sana”
Nira lantas mengangkat wajahnya. Ia menoleh ke samping, bukan ke arahku, melainkan ke arah jendela.
Aku masih santai menanti jawabannya.
Hingga….
Setelah terdengar tarikan nafas darinya, aku pun merasa inilah saatnya aku mendengar jawaban – lebih kepada pengakuan yang sebenar-benarnya dari akhwat kakak iparku ini.
Here we go….
Ahhhhh…. sumpah….. gue deg-deg’an coeg!
Menanti jawaban dari akhwat bercadar satu ini, meski hanya sebentar saja, nyatanya, rasanya seperti menunggu beratus tahun lamanya. Hadehhhh!
Masih di sini. Masih di dalam mobil yang tengah ku kemudikan, bersama akhwat bercadar kakak iparku ini.
Masih menunggu jawaban darinya, dengan jantung yang, ahhh sudahlah….
Andai saja nih jantung bisa memecah di dalam sana, maka terpecahlah saking kerasnya detakannya di dalam sana. Hahay! Lebay ya?
“Jujur….”
Yeah!
Akhirnya, penantian panjangku terhenti juga.
Biji, panjang apaan, wong gak sampai mamenit kok. Cuma percayalah kawan, kalo jadi aku, pasti kalian akan merasa seperti ratusan tahun lamanya, hanya untuk menanti jawaban dari Nira.
Baiklah…
Mari kita mendengarkan jawaban dari Nira.
Masih melihat ke sisi kiri, lebih tepatnya ke kaca samping, ia kembali menarik nafasnya dalam-dalam sesaat sebelum ia kembali mengeluarkan suaranya.
“Sejujurnya.. Awalnya aku ingin menegur. Awalnya juga aku merasa sedih karena aku malah tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi setelah aku kembali merenungi dan berfikir lagi, sepertinya, apa yang kulakukan itu hanya agar kamu tidak malu Ar.” Kejujuran yang baru saja di katakan Nira, sangat di terima oleh hati dan pikiran ini.
Yah! Tak tampak sama sekali baik itu ekspresi maupun gesture darinya yang menyiratkan kebohongan. Tak perlu ku jelaskan panjang lebar ini itunya, mengapa aku bisa mengetahui jika wanita bercadar di sebelahku ini berkata amat sangat jujur ya. Jangan kawan.
Tapi, yang ingin ku komentari ialah, “Malu?”
Nira akhirnya mengalihkan tatapannya dari kaca di samping kiri, lalu kini, ia menatapku dari samping. Aku sesekali membalas tatapannya, kemudian sesekali juga fokus melihat ke depan. Mobil sengaja ku rendahkan lajunya dan mengambil jalur di kiri saja biar para pengguna jalan lainnya yang ingin berjalan lebih cepat, bisa mengambil jalur kanan.
Sekali lagi, ia mengambil nafas. Dalam…. amat sangat dalam. Fiuh! Seberat itukah engkau rasakan, hanya untuk bercerita padaku, Nir?
“Maksudku itu, coba bayangin apabila aku malah menegurmu, bagaimana kamu akan merasa malu dan tak akan mau lagi bertemu muka denganku. Jadi ini juga membantumu untuk terhindar dari pemikiran tentang dosa, Ar.” Dia mengambil Jeda.
Aku menatapnya kembali, tapi tak sampai dua detik, ku kembalikan pandanganku ke depan. Patut di ingat, mobil masih berjalan kawan. Kalo aku malah melihat ke samping lama-lama, selain bisa tersihir oleh pesona Nira, mobil juga bisa menabrak.
“Kamu pernah mendengar, sebuah cerita dari sahabat? Tentang dua kejadian dua pasangan pasutri kala itu, Ar?”
Aku menggeleng. Karena memang masih bingung, cerita sahabat yang mana yang ia maksudkan. Sahabatku? Atau sahabatnya?
“Di kisahkan…. dahulu kala, ada dua pasutri. Pasutri pertama, saat suami ke rumah ia telah berniat untuk menyetubuhi istrinya, tapi sayang kala itu keadaan sedang pemadaman listrik bergilir. Jadilah mereka bersetubuh di kegelapan. Setelah mereka bersetubuh, dan kebetulan listrik dan lampu menyala, sang suami baru menyadari jika ia menyetubuhi wanita lain, bukan istrinya melainkan pembantunya….”
Nira mengambil jeda, hanya untuk sekedar mengambil nafas, “Nah, pasutri yang kedua, berbeda dengan yang pertama. Sang suami yang di cerita kedua ini, malah awalnya telah meniatkan untuk menyetubuhi pembantunya yang telah lama ia incar. Dan situasinya sama-sama terjadi pemadaman. Tapi setelah selesai bersetubuh, setelah lampu menyala, barulah ia sadari, yang ia setubuhi bukanlah pembantunya, melainkan istrinya…. Ar” lagi-lagi, ia menjeda sedetik.
Setelahnya, ia pun melanjutkan ceritanya. “Namun, saat di adili, malah yang suami di kisah kedua-lah yang masuk neraka, suami yang di kisah pertama malah surga tempatnya, Ar… Padahal jelas-jelas di sini, suami yang di kisah pertamalah yang berzina dengan wanita lain, sedangkan suami di kisah kedua, malah tidak berzina. Karena ia bersetubuh dengan istrinya.”
Baru ngeh’ sekarang. “Ohhh I see. Jadi semua karena niat ya Nir?”
“Iya Ar. Sama seperti kejadian di antara kita kemarin. Tapi Alhamdulillah, akhirnya Allah SWT masih melindungi kita berdua. Dengan datangnya Rafiq untuk menghentikan perbuatan yang akan berdampak lebih panjang nantinya.”
Padahal harapanku sih, bisa lanjut sampai ke finish, Nir. Ahhh, batin sialan. Kurang relevan engkau cemari suasana penuh syahdu ini dengan pikiran-pikiran negatif.
“Itu makanya, aku tak ingin kamu nantinya di timpa penyesalan yang berkepanjangan, dan merasa diri telah di lumuri dosa karena telah berzina, melecehkan wanita yang bukan istrimu, Ar. Makanya aku diam saja membiarkan apa yang kamu lakukan padaku, karena aku juga telah ikhlas dan seolah-olah membiarkan pikiranmu, niatmu, tetap dengan tujuan untuk menyetubuhi Azita istrimu.”
Aku mangguk-mangguk setelah mendengar penjelasan panjangnya itu.
Aku mulai memahaminya sekarang.
Tapi….
Ah pikiran…. oh pikiran. Sialan emang, Cuma lebih sialan lagi, keinginan besar di dalam sana untuk bertanya. Menanyakan sesuatu yang amat sangat menyesatkan, yang baru saja terlintas di tempurung kepala ini.
Lebih sialannya lagi, mulut ini malah dengan lancarnya bertanya tanpa di pikir dulu, “Tapi, apabila Rafiq tidak datang mencariku. Apakah kamu akan membiarkan saya menyetubuhimu sampai selesai?” begitu tanyaku.
Tepokjidat! Tapi, kalo gak di tanyakan, malah aku semakin penasaran bro. Sungguh!
Dengan perlahan, amat sangat perlahan, Nira mengangguk. “Iya Ar. Aku akan membiarkan itu terjadi….”
Oh shit!
Ada yang bangun tiba-tiba di bawah sana bro. Kodir ngeheee, tidur lagi hoi. Jangan maen bangun dan berdiri tanpa perintah dari tuanmu. Hadeh!
“Kamu rela vaginamu ku nikmati?” Anjirrrr bacot gue!
Respon Nira?
Dia malah tetap mengangguk, tanpa adanya ucapan atau sikap protes atas ucapanku yang vulgar itu.
Ya udah, basah sekalian dah! Aku pun lanjut bertanya, “Bahkan sampai nanti kamu hamil, kamu juga tetap akan diam saja?”
“Eh…. ihhh kok malah keterusan sih Ar” dia malah baru menyadari pertanyaanku ini. Hahahahahahha…..
Aku hanya nyengir saja menanggapinya.
“Ya kan hanya pengen tahu aja sih”
“Tapi kan, kalo hanya sekali gak mungkin hamil juga Ar”
“Yah kan gak ada yang tahu, kalo tidak di coba, Nir”
Nira lantas memelototiku. “Hehe maaf, padahal sih tadi pengennya kamu menjawab…. kalo gitu, ayo kita coba Ar….. Aaakkhhhh……. sakit, tau..!!!” sekali lagi, cubitan manja ku dapatkan darinya.
“Ihhhh…. rasainnn…. sapa suruh godain istri orang…. nih lagi, nih…..”
“Adawwww….. udahh…. ampun….. ntar kita bisa nabrak, lho”
Sakit. Kali ini cubitannya kembali mendarat tapi bukan lagi di lenganku, melainkan di pinggangku dan rasanya sakit. Tapi sungguh aku senang sekali. Ingin rasanya aku bermimpi seandainya bisa, aku ingin mengarahkan mobil ini ke sebuah hotel buat melanjutkan apa yang seharusnya kami lakukan. Hahahaha.
“Biarin aja. Nabrak aja sekalian, biar kamu yang suka godain istri orang bisa tobat” Ringan sekali. Tidak ada kesan marah yang terdengar dari ucapan Nira.
Artinya dia tidak tersinggung dengan ucapanku barusan. Ah, Nira, ingin segera kutepikan mobil ini, lalu ku peluk dirimu, ku buka niqabmu, ku cumbui bibir mungilmu. Uhhhh!
Lalu entah mengapa kami berdua tertawa berbarengan, seolah-olah kami baru saja mengingat sesuatu yang lucu. Dan entah mengapa tiba-tiba ada rasa rindu dan takut untuk berpisah yang begitu kuat memenuhi dadaku. Padahal kami kan akan terus bertemu karena kami tinggal di satu tempat yang sama. Tapi tetap saja, kedekatan yang mencair dengan akhwat kakak iparku ini, yang amat sangat misterius membuatku enggan melepasnya begitu saja. Aku masih ingin berada di dekatnya, menggodanya dengan candaan-candaanku.
Menggoda saja, bukan merayu. Cukuplah kedekatan ini dulu yang terjalin. Cukuplah perasaan sayang yang halus ini terbina sedikit demi sedikit. Toh, aku percaya kalau Nira sudah dekat tanpa jarak denganku, urusan syahwat akan tiba dengan sendirinya.
Ahhh, senjataku mengeras lagi.
“Ar….” Nira memecah keheningan di dalam kabin.
“Ya?”
“Kita mau kemana sih?”
Ahhh iya, kok aku malah mengendarai mobil tanpa arah. Hanya berputar-putar jalan saja. Seakan-akan lagi menghitung panjangnya jalan yang kami lalui sekarang.
“Eh iya. Hehehe, mau kemana sih?”
“Kan kita mau ke Cimahi, kok kita belum nyampe-nyampe ke Cimahinya ya?”
“Oh iya… hahaha maaf maaf. Keasyikan berasyik masyuk denganmu, saya malah lupa tujuan kita sebenarnya.”
“Dasar….” Duhhh meski hanya dari matanya saja yang terlihat, tapi aku sadar ia telah tersenyum di balik niqabnya itu. Senyum yang misterius tapi begitu mendebarkan jantung ini, kawan.
Kami lantas terdiam. Tapi aku pada akhirnya mengarahkan mobil menuju ke Cimahi. Yang tentu saja masuk melalui pintu Tol Moh. Toha, dan bakal keluar dari pintu tol Baros.
Setelah beberapa jenak kami terdiam, aku pun memecah keheingan.
“Nir….
“Iya, Ar?”
Kan udah basah kondisinya sejak tadi, bukan? Yahhh udah aja kali ya, nyebur aja sekalian. Asal jangan sampai tenggelam. Dan itulah yang sekarang ingin ku tanyakan, “Saya kan sudah mengaku…. bahkan sejak kemarin, saat kita lagi chatingan, kalo saya benar-benar menikmatinya. Saya…. Hmm, bohong jika tidak adanya keinginan untuk mengulangnya, meski ini memang dosa besar. Meski memang, kalo memang hal itu terjadi bakal menjadi sebuah perselingkuhan. Tapi…. Percayalah, saya juga tidak berharap hal itu bisa tercapai di antara kita. Tapi setidaknya, saya juga butuh jawaban darimu, apakah kamu menikmati sentuhan saya atau tidak. Atau malah menyesalinya”
“Karena…. kembali pada kejadian di malam sebelumnya. Kamu menggunakan foto saya buat…. ya you know kan yang ku maksud ini?”
Nira lantas kembali menatapku.
“Ka… kamu seriusan bertanya ini Ar?”
“Lah, kan udah di tanyakan. Masa nanya lagi serius apa tidak. Hehehe” Ardan borokokok. Kenapa malah terus menyerang seh! Fiuh…. awalnya pengen menyesal, namun nyatanya, sesal itu sirna begitu saja seiring dengan gesture Nira yang sepertinya tidak marah maupun tersinggung.
Buktinya….?
Tuh! Nira lantas menunduk sesaat…
Tapi, tetap suaranya terdengar, suara yang membalas ucapanku barusan. “Ar…. Jujur, meski mau di liat dari sudut pandang manapun, semua ini tak sepantasnya ku lakukan. Tapi, gak tau kenapa…..”
Ah dia malah menjeda.
Tapi aku tak lantas menyela. Aku sabar menunggu lanjutan kalimatnya.
“Hmm, boleh aku jawabnya dengan chatting aja?”
“He?”
Seriusan?
Ini beneran dia mau jawab pertanyaan sialanku barusan? Pertanyaan yang tak berakhlak?
Ahhh….
Sekali lagi….
Jantung ini kembali bergerumuh di dalam sana. Gemuruhnya seperti suara genderang perang di pilem-pilem kolosal yang biasa ku tonton di waktu senggang.
Tentu saja, aku lantas tak banyak cincong. Aku mengangguk mengiyakannya.
Sejurus kemudian, Nira meraih ponselnya, dan mulai mengetik di sampingku.
Woahhhhh! Mana ia mengetik lama banget.
Apakah pesan yang akan ia ketik itu, amat sangatlah panjang? Ingin menoleh sekedar mengintip pesan yang ia ketik pada ponselnya, tapi kok, rasa-rasanya jauh lebih greget kalo tak ku lakukan. Jauh lebih greget kalo menunggu dengan penuh kesabaran. Toh! Aku juga bakal baca nanti, kok, bro!.
Singkat cerita…….
Drrtttt!!!
Ahhhhhhh…. lega! Betapa lega rasa di dalam sana, pas ponselku bergetar. Aku makin yakin, pesan itu dari wanita di sebelahku, karena buktinya, ia telah menghentikan kegiatan mengetiknya pada layar ponsel di genggamannya itu. Malah, ponselnya ia genggam begitu saja, sedangkan posisi kepalanya sudah menunduk.
Jantung… oh jantung.
Berhentilah berdetak kencang di dalam sana. Biarkan tuanmu tenang dulu. Ahhhh!
Ya sudah. Aku membuka ponselku, dan segera membaca pesan tersebut………………………………
…
…
…
…
…
Sabar sodara-sodara.
Sabar ya….
Biarkan aku menarik nafas dulu, baru kita membaca bareng-bareng pesan yang beneran sangat panjang yang di kirimkan Nira ke ponselku, yang juga kini tengah ku tatap.
…
…
…
…
Jiah malah kalian maen skroll cepet-cepet.
Di bilang sabar, napa! Toh, aku belum pungkasi chapter ini, kan?
Tenang…. masih lanjut kok. Belom end! Hahay!
…
…
…
…
Well!
Mari kita membaca, kawan!
Kencangkan kancut, luruskan posisi kodir, fokuskan sepasang mata pada layar ponsel….
And then!
…
…
…
…
Ah iya, lebih baik aku melipir dulu. Memarkir mobil di sisi kiri jalan, hanya sebentar saja. Biar aku bisa fokus dan menghayati pesan dari Nira.
Setelahnya…..
Mari kita membaca……
“Jujur Ar, aku malu mengatakan di hadapanmu. Aku suka…. sangat suka liatin punyamu…. karena, baru kali ini aku menyadari kalo ternyata memang ukuran kemaluan laki-laki itu tidak sama. Aku juga wanita biasa Ar. Suamiku, meski dari luarnya terlihat gagah, tapi yang tidak di ketahui oleh orang lain, jika suamiku sudah tak lagi memiliki kemampuan untuk menyenangkan istri. Karena kejadian saat ia latihan dulu, ia terjatuh…. dan yah, begitulah. Aku pun harus mengubur dalam-dalam keinginan untuk bisa memiliki anak darinya. Jangan tanyakan bagaimana ukurannya, jelas punyamu melebihi punyanya, tapi demikian, sebelum kejadian itu menimpanya, dia juga cukup ahli untuk menyenangiku. Tapi, sudah 3 tahun hal itu tak lagi ku dapatkan. Makanya malam itu, kamu melihat apa yang ku lakukan di ruang tamu. Dan yah, itulah yang terjadi. Aku memang sesekali meraih kenikmatan itu dengan caraku sendiri”
Ahhhhh….
Sekali lagi………… Ahhhhhhhhhhhh……………
Lega….. rasanya seperti ada hawa gelap yang melayang di atas kepalaku, lalu tiba-tiba terbit matahari yang mengusir awan gelap itu. Mataku tertuju ke samping.
Rupanya, hipotesaku di awal terbukti sekarang. Jadi begitu toh, rupanya Nira juga mendambakan kenikmatan bersetubuh yang tak akan pernah ia dapatkan lagi dari suaminya.
So…..
Sepertinya, inilah kesempatan bagiku untuk membantunya…
Menciptakan sebuah realita baru, story baru, agar sesegera mungkin menghentikan aktivitas tak wajarnya selama ini dengan ber-self service memakai foto. Kenapa tidak mencoba yang real nya saja?
Hohohohoho!
Tanpa Nira sadari, tanduk tak kasat mata di atas kepala, mulai menampakkan keruncingannya. Di sertai dengan seringaian iblis jahannam yang tercipta di balik samarnya senyumanku ini padanya.
-BERSAMBUNG-